Hidayatullah.com — Menyikapi fenomena LGBT, semestinya kita harus bersikap bijak dan objektif. Sikap ini diperlukan agar lahir penanganan dan kebijakan yang tepat untuk para pelaku LGBT.
Ada baiknya kita cermati pernyataan sikap dari Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDKSKJI) tanggal 19 Februari 2016, yang mengacu pada Undang-Undang (UU) No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGIJ)-III sebagai berikut:
– LGBT adalah istilah yang tidak dikenal dalam pustaka formal ilmu Psikiatri.
– Dalam Ilmu Psikiatri dikenal orientasi seksual meliputi: heteroseksual, homoseksual, dan biseksual.
= Homoseksual adalah kecenderungan ketertarikan secara seksual kepada jenis kelamin yang sama, meliputi lesbian dan gay.
= Biseksual adalah kecenderungan ketertarikan secara seksual kepada kedua jenis kelamin
= Transeksual adalah gangguan identitas jenis kelamin berupa suatu hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan tidak enak atau tidak sesuai anatomis seksualnya dan menginginkan untuk memperoleh terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.
UU di atas juga menyebut tentang orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Yakni orang yang memiliki masalah fisik, mental dan sosial, pertumbuhan dan perkembangan dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Dengan demikian, homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikatagorikan orang dalam masalah kejiwaan (ODMK), sedangkan transeksualitas termasuk orang dengan gangguan kejiwaan (ODGK).
LGBT dalam Pandangan Sains (1)
Mengacu pada proses alamiah pertumbuhan dan perkembangan kelamin pada laki-laki dan perempuan sebagaimana paparan ilmiah dalam tulisan sebelumnya, sudah sangat jelas bahwa secara normal, manusia itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Secara genetis, organ kelamin dalam dan luar sangat ditentukan oleh kromosom pengendali ekspresi untuk jenis kelamin.
Agar terekspresi menjadi laki-laki normal atau perempuan normal, diperlukan peran lingkungan untuk memicu fungsi genetik yang ada di dalam tubuhnya. Misal seseorang secara genetis berjenis kelamin laki-laki, maka agar terekspresi menjadi lelaki normal, lingkungan berperan mengarahkan.
Agar seseorang tumbuh menjadi laki-laki, maka dalam perjalanan hidupnya dikondisikan sebagai laki-laki. Dengan demikian hormon laki-lakinya akan terproduksi secara normal sehingga ekspresi kelaki-lakiannya tumbuh dan berkembang normal.
Bila selama perjalanan hidupnya terkondisi tidak seharusnya, maka peluang terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan cukup besar. Salah satu dampaknya bisa terjadi disorientasi seksual. Namun dalam pemetaan gen hasil HUGO (human genom project), tidak ada gen secara khusus yang mengkode untuk ekspresi LGBT.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa LGBT adalah masalah kejiwaan. Bukan masalah genetis, sebab secara genetis hanya ada dua jenis kelamin manusia: laki-laki atau perempuan. Tidak ada kelamin “antara”. Ekspresinya diarahkan oleh lingkungan yang menyertai selama perjalanan tumbuh kembang yang bersangkutan.
Begitulah pandangan ilmiah tentang LGBT. Jika tetap saja ada pro dan kontra, hal yang bijak adalah mengembalikan semua urusan ini kepada sumber segala sumber ilmu. Yakni tuntunan Allah SWT (al-Qur`an) dan Rasul-Nya (Sunnah).
Di dalam al-Qur`an ada ayat-ayat qauliyah yang bersifat tekstual dan dogmatis untuk diikuti kebenarannya. Kita juga mengenal adanya ayat-ayat kauniyah, yaitu semua ciptaan Allah SWT berupa jagad raya dan seisinya. Dua sumber ilmu ini ternyata saling mendukung satu sama lain.
Ketika kita mempelajari ayat-ayat kauniyah, maka sampai pada fase tertentu kita akan mencapai tahapan uncertainly (ketidakpastian). Pasalnya, akal memiliki keterbatasan dan kebenaran akal bersifat relatif. Oleh karena itu perlu ada sandaran lain yang mengarahkan akal kita, yaitu kebenaran lain di luar akal.
Kebenaran itu adalah kebenaran sebagaimana dimuat dalam ayat-ayat qauliyah. Begitu juga sebaliknya, ayat-ayat qauliyah yang kebenarannya mutlak menjadi rujukan dalam mempelajari ayat-ayat kauniyah.
Bila dalam mempelajari ayat-ayat kauniyah mungkin belum relevan dengan ayat-ayat qauliyah, bukan berarti keduanya bertentangan. Namun akal manusia yang belum menemukan sintesis dari hasil pemikiran akalnya, sehingga perlu dikaji lagi untuk mendapat jawabannya.
Tepat sekali ketika Allah SWT berfirman, “Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (al-Baqarah [2]: 2).* (tamat)