Sekularisasi dan modernism menggeser sistem pemikiran Islam yang pakem yang berbentuk elemen worldiview Islam, bagaimana akidah Asy’ariyah?
Oleh: Dr. Kholili Hasib
Hidayatullah.com | SALAH satu tantangan akidah yang perlu ditanggapi secara serius adalah pemikiran modernisme. Jurgen Habermas, filosof dan sosiolog Jerman, mengatakan “modernisasi pemikiran adalah proses rasionalisasi”.
Khalif Muammar dalam Tradisi dan Moderniti menyimpulkan bahwa modernitas merupakan the age of reason (zaman akal) dengan ciri menolak metafisika (Khalif Muammar, Tradisi dan Moderniti, Jurnal Hadhari 4(1) (2012), hal. 33).
Sumber munculnya modernisme sebetulnya buah dari gerakan sekularisasi sebagai program filsafat (Prof. Syed M Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam). Sekularisasi telah menggeser sistem pemikiran Islam yang telah pakem yang berbentuk elemen-elemen worldiview Islam. Sistem pemikiran tersebut mengeser konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep Nabi, konsep alam, konsep manusia, konsep ilmu, konsep kebahagiaan, dll. Hasilnya adalah kerusakan pemikiran akidah Islam.
Karakter utama pemikiran modernisme adalah; menghilangkan makna ruhani dari alam kejadian, membuang metafisika, menggeser dan membongkar struktur pemikiran Islam, dan penyamarataan manusia.
Dalam pemikiran modernisme, alam ini berjalan secara natural. Tidak ada “kekuatan lain” yang menggerakkan.
Segala kejadian alam ini adalah karena gerakan alam itu sendiri. Tuhan absen dalam kejadian alam.
Ini merupakan maksud menghilangkan makna ruhani dalam alam. Pangkal kerusakan akidah secara serius ini dari salah paham terhadap kekuasaan Tuhan.
Modernisme bertumpu kepad fisika, tidak pada metafisika. Tumpuan ini merupakan hasil dari pemikiran menghilangkan makna ruhani dalam alam.
Akibat selanjutnya adalah ilmu pengetahuan itu terbatas kepada sumber rasional dan sumber inderawi. Paham penyamarataan manusia merupakan pandangan bahwa otoritas manusia dalam ilmu, etika dan agama sama.
Tidak ada yang mengungguli satu dengan yang lainnya. Maka, otoritas ilmu, etika dan agama dijatuhkan.
Buktinya adalah pada abad pencerahan, diskursus teologi Kristen tidak lagi didominasi oleh gereja, tetapi filosof bicara fasih tentang teologi Kristen. Bahkan, pandangan-pandangan teologis para ahli filsafat lebih berpengaruh di abad itu.
Ketika modernisme masuk mempengaruhi pemikiran Islam, maka bentuknya beragam dan bercabang aliran pemikiran. Aspek-aspek yang berunsur ruhani dan batini dalam pandangan modernisme tidak penting, bahkan didiskualifikasi dari salah satu sistem pemikiran Islam.
Bentuknya mendiskualifikasi tasawuf dan perkara-perkara lain yang terkait dengan tasawuf. Maka, lahirlah narasi-narasi yang memojokkan tasawuf secara general.
Tasawuf penyebab kemunduran Islam. Tasawuf bukan murni ajaran Islam. Narasi seperti ini sebetulnya karena salah faham. Karena fahamnya tidak tuntas. Tetapi bercepat-cepat menyimpulkan dengan modal awal paham modernisme yang karakternya merendahkan tasawuf.
Dalam konteks masalah ketuhanan (ilahiyyat), maka cara pandang menghilangkan makna ruhani pada alam kejadian ini, memastikan hukum sebab-akibat di alam dengan menghilangkan qudrah Allah dalam pengaturan alam kejadian. Sehingga, metodologi sains tidak pernah menyertakan peran Tuhan dalam kejadian-kejadian saintifik. Sains menghilangkan konsep Tuhan.
Narasi modernisme juga menggeser dan membongkar tradisi dalam Islam seperti; tradisi fiqih, hadis, tafsir, tasawuf, kalam, mantiq, filsafat dan lain-lain. Beberapa pemikir kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, dan lain-lain menuduh bahwa tradisi-tradisi tersebut menciptakan kejumudan pemikiran Islam.
Pemikir lainnya menuduh bahwa sebagian tradisi-tradisi tersebut – khususnya tradisi kalam, mantiq dan filsafat – merupakan bid’ah yang tidak ada di zaman Nabi Saw. Beda argumentasi dan dalil, tetapi sejatinya satu kata; menjatuhkan otoritas tradisi. Itulah modernisme.
Otoritas dalam tradisi keilmuan dijatuhkan modernisme juga dengan narasi “penyamarataan manusia”. Prof. Syed M Naquib al-Attas menyebut karakteristik modernisme yang menyamaratakan manusia: Menegasikan maratib (kedudukan) berdasarkan keahlian dan kepakaran, merendahkan dan meremehkan ulama, membebaskan diri dari madzhab.
Namun narasi utama modernisme adalah selalu berbicara tentang isu progress and development (kemajuan). Namun yang dimaksud progress di sini adalah kemajuan fisik; bangunan, dan meninggalkan yang “lama”.
New always better (yang baru selalu terbaik). Umat dibawa pada masa kemajuan. Tetapi kemajuan yang dimaksud mengekor modernisasi Barat. Jika jadi “ekor”, sejatinya tidak maju. Tapi tetap di belakang.
Di dunia Islam pemikiran progress and development dipelopori beberapa tokoh. Mohammad Amin, Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) melalui isu-isu pembaharuan atau harakah tajdid.
Jadi setidaknya ada empat karakter utama pemikiran modernisme; Pertama kritis terhad turath Islam. Ada yang kritis terhadap turats fiqih, tafsir, tasawuf dan kalam.
Ada yang kritis terhadap turats utama; al-Qur’an dan hadis. Pemikiran kritis yang kedua ini biasanya menjadi liberal dan sekular. Kedua, dekonstruksi teologis dan epistemologis, membongkar konsep Tuhan dan merusakan konsep Ilmu.
Ketiga penggunaan metodologi filsafat dan metodologi yang berkembang dalam ilmu humaniora Barat untuk kajian keislaman, Keempat penyamarataan manusia (ulama-bukan ulama, mujtahid bukan mujtahid).
Problem pemikiran tersebut selayaknya direspon secara adil oleh pemikiran Asy’ariyyah. Beberapa karakter dan pengalaman akidah Asy’ari dalam merespon aliran-aliran keyakinan dalam sejarah Islam merupakan modal penting.
Di antara ciri mendasar akidah Asyari adalah keseimbangan dalam penggunanan hujjah naqli dan hujjah aqli, dengan tetap mendahulukan hujjah naqli. Tokoh-tokoh terdepan madzhab Asyari seperti Imam al-Ghazali, Abdul Qahir al-Baghdadi, Fakhruddin Ar-Razi misalnya berhasil menaklukkan pemikiran-pemikiran “asing”. Bukan sekedar menyodorkan dalil teks al-Qur’an dan hadis.
Imam al-Ghazali menulis Tahafut al-Falasifah dan Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Metodologi penghujjahan dua kitab ini penting untuk diterapkan dalam merespon pemikiran modernisme sekarang.
Sulaiman Dunya menyebutkan bahwa Imam al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menggunakan logika pertentangan (kontradiksi) dalam mematahkan pemikiran ahli filsafat. Pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan antara satu teori dengan teori yang lain itulah yang dijadikan bahan menganalisis kelemahan dan kesalahan.
Abu al-Hasan an-Nadawi mengendorse metode Tahafut al-Falasifah ini: “Kaum muslimin sangat membutuhkan model argumen seperti ini” (Shalih Ahmad as-Syami, Al-Imam al-Ghazali Hujjatul Islam wa Mujaddid al-Mi’ah al-Khamsah, 89).
Dalam kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad Imam al-Ghazali mengenalkan berfikir yang adil, dan wasath dalam berargumen tentang akidah. Beliau mengenalkan istilah iqtishadi (kesederhanaan).
Mengkritik golongan ekstrim (ghuluw) dari dua kelompok; mu’tazilah dan hasywiyah. Mu’tazilah dan falasifah terlalu berlebihan dalam mendukung akal sehingga meremehkan al-Qur’an dan hadis. Golongan hasywiyah berlebihan dalam mencari kefahaman agama dengan hanya berpandungan al-Qur’an-hadis semata tanpa terlalu mengakui peranan akal.
Dalam al-Iqtishad Imam al-Ghazali merekomendasikan agar mematahkan golongan falasifah dan mu’tazilah itu dengan akal. Kritik akal dengan akal. Bukan sedekar dalil al-Qur’an dan as-Sunnah saja.
Abdul Qahir al-Baghdadi, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) ahli kalam pasca Imam al-Ghazali, juga aktif menangkis golongan falasifah, dahriyyun dan sufasthaiyyah (kaum shopisme). Metode yang digunakan hampir sama dengan yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali. Begitu juga Fakhruddin Ar-Razi.
Pendekatan aqliyyah (yang tentu saja berdiri di atas syara’) seperti yang digunakan tokoh-tokoh tersebut merupakan cara tepat untuk mengatasi pemikiran modernisme (Mohd Farid Mohd Shahran, Akidah dan Pemikiran Islam; Isu dan Cabaran).
Maka, para tokoh yang sangat aktif mematahkan hujjah-hujjah golongan menyimpang dan menyelamatkan aqidah kaum Muslim banyak sekali dari kalangan Asya’irah. Imam Tajuddin as-Subki menggambarkan, Imam Asy’ari itu shalat berjamaah bersama kaum Muslim setelah ia “perang sengit” menghunus pedang dengan musuh-musuh. Ia merupakan pahlawan Islam.
Oleh sebab itu, mempelajari tokoh-tokoh Aswaja Asy’ari ini seyogyanya tidak hanya belajar ajaran-ajarannya saja. Tetapi, — tentu lebih strategis lagi – mempelajari metodologi yang digunakan tokoh-tokoh tersebut dalam mengistbat pemikiran akidah Aswaja dan dalam merespon tantangan pemikiran modernisme.
Respon terhadap pemikiran asing tidak cukup dengan dalil al-Qur’an dan dalil hadis saja. Tetapi, dalil rasional sangat strategis karena akal merupakan alat dalam memahami naql.*
Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS), pengajar di INI-DALWA, Bangil, Jawa Timur