Hidayatullah.com—Pemerintah khususnya Kemenkes dan BPOM perlu segera melakukan mitigasi secepatnya untuk mengantisipasi semakin meluasnya kasus gagal ginjal akut pada anak. Demikian salah satu usul anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Dr Kurniasih Mufidayati.
“Setelah menerbitkan imbauan larangan mengonsumsi obat sirup kecuali daftar yang sudah dinyatakan aman oleh BPOM, perlu dibuat mitigasi lain agar penanganan kasus gagal ginjal ini bisa segera terkendali,” demikian kata Kurniasih Mufidayati kepada hidayatullah.com, Kamis (27/10/2022).
Selanjutny, Kurniasih meminta migitasi yang dilakukan adalah memperbaiki sistem terpusat pengaduan dan pelaporan. Sistem ini menurutnya, harus disosialisasikan seluas-luasnya dan dibuat dengan akses yang mudah agar masyarakat bisa cepat melaporkan dugaan kasus gagal ginjal akut pada anak.
Dengan melakukan mitigasi, masyarakat yang melapor ke Fasilitas Kesehatan juga bisa langsung terekam datanya untuk masuk ke hotline terpusat. “Sistem pelaporan ini harus dibuat proaktif, jangan sampai pasien sudah datang dalam kondisi yang parah. Proses harus dipercepat sehingga penanganan bisa lebih cepat dan tidak ada kasus yang tidak terlapor,” ungkap Kurniasih.
Mitigasi lain yang perlu dilakukan adalah menyiagakan dan menyiapkan RS Tipe A dan B untuk menerima pasien dan melakukan perawatan. Sementara RS tipe C disiapkan untuk menerima pasien dengan gejala AKI ini untuk pemeriksaan awal maupun lanjutan, mengingat masyarakat juga diliputi kecemasan dan kekhawatiran, terutama yang merasa pernah memberikan obat sirup kepada anaknya.
RS harus dilengkapi dengan sarana dan prasarananya termasuk tenaga medis serta obat-obatan yang informasinya sudah ada beberapa alternatifnya yang didatangkan dari luar negeri. “Penyiapan Faskes khusus untuk kasus gagal ginjal akut ini penting sekali terutama di daerah-daerah. Karena alatnya khusus, tenaga medisnya juga khusus sehingga perlu dipastikan pengaturan SDM sebagaimana pada saat penanganan Covid-19. Ini perlu koordinasi lintas RS yang difasilitasi Pemerintah pusat maupun daerah,” kata Kurniasih.
Sementara tindakan mitigasi yang dilakukan BPOM adalah mempercepat pengujian terhadap 69 jenis obat yang belum keluar hasilnya. Kemudian memastikan telah menarik semua lima produk yang ditemukan cemaran etilen glikol dan masyarakat yang memiliki lima produk ini diminta untuk membuangnya.
“Industri farmasi juga harus berkontribusi dengan melaporkan hasil pengujian mandiri yang terpercaya sebagai tanggung jawab dari sisi produksi. BPOM perlu lebih proaktif dalam melakukan pengawasan ketat terhadap produksi dan peredaran obat sediaan cair terutama yang menggunakan pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol, khususnya dari produsen yang punya riwayat melakukan pelanggaran,” ujar Kurniasih.
Dalam proses mitigasi ini, perlu dibuatkan proses dukungan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mengingat kasus ini sudah menyebar di 26 provinsi. Dukungan perlu dilakukan dari sisi penyediaan sarana, tenaga medis termasuk sistem JKN yang bisa mengcover tindakan pada pasien.
“Jika hanya dilimpahkan ke masing-masing Pemda, kita khawatir penindakannya tidak maksimal. Kita sudah punya pengalaman dalam penanganan Covid-19 dimana semua sumber daya yang kita miliki kita kerahkan. Pola yang sama bisa dilakukan dengan dukungan penuh pemerintah pusat ke pemda baik yang sudah ada kasus maupun yang belum sebagai bagian dari mitigasi,” terang Kurniasih.*