Hidayatullah.com– Pengadilan di Nikaragua memberikan hukuman penjara kepada empat pendeta Katolik hingga 10 tahun yang divonis bersalah dalam dakwaan konspirasi yang berawal dari tuduhan pemerintah bahwa gereja menyokong aksi-aksi protes pro-demokrasi.
Pada hari Ahad, seorang pendeta kelima dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas tuduhan yang sama.
Mereka diproses dalam persidangan tertutup di mana pengacara-pengacara yang ditunjuk pemerintah ditugaskan untuk mendampingi para pendeta terdakwa.
Keempat pendeta yang dihukum pada hari Senin itu pernah bekerja sama dengan Uskup Matagalpa Rolando Álvarez, dan seorang di antaranya pernah menjabat rektor perguruan tinggi swasta Juan Pablo II University di ibukota Managua.
Álvarez ditempatkan dalam tahanan rumah dengan tuduhan konspirasi dan merusak pemerintah dan masyarakat Nikaragua, dan dijadwalkan akan segera mendapatkan hukuman.
Dua siswa seminari dan seorang kamerawan yang bekerja untuk keuskupan juga dijatuhi hukuman hari Senin. Keenam terdakwa ditangkap tahun lalu, dan semuanya dicabut haknya untuk memegang jabatan politik.
Nicaraguan Human Rights Center menggambarkan kalimat tersebut sebagai “penyimpangan hukum”.
“Ini merupakan penghinaan terhadap hukum, penghinaan terhadap intelijensia rakyat, penghinaan terhadap komunitas internasional dan badan internasional untuk perlindungan hak asasi manusia,” kata organisasi tersebut dalam sebuah pernyataan hari Selasa (7/2/2023) seperti dilansir Associated Press.
Uskup Alvarez, vokal menyuarakan masa depan Nikaragua sejak 2018, ketika gelombang protes terhadap pemerintahan Ortega dihadang dengan tindakan keras oleh aparat.
Hari Ahad, Óscar Danilo Benavidez, seorang pendeta di Mulukuku di bagian utara Nikaragua, dihukum dalam dakwaan konspirasi dan penyebaran informasi palsu. Fia ditangkap pada 14 Agustus 2022.
Agustus lalu, Paus Fransiskus mengatakan kepada ribuan orang yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus bahwa dia mengikuti dengan cermat peristiwa “mengkhawatirkan dan menyedihkan” di Nikaragua terkait sejumlah “orang dan institusi.” Dia tidak menyebut perihal para pendeta yang ditahan ataupun Álvarez.*
Ortega berpendapat protes-protes pro-demokrasi dilakukan dengan dukungan asing dan dengan dukungan Gereja Katolik. Tahun lalu, dia mengusir para biarawati dari orde Teresa’s Sisters of Charity dan papal nuncio (diplomat Vatikan) di Nikaragua.
Ortega, seorang bekas gerilyawan Marxis yang naik ke puncak kekuasaan pada tahun 1979 setelah kelompok Sandinista yang dipimpinnya menggulingkan pemerintahan diktator Presiden Anastasio Somoza, membuat marah Vatikan pada era 1980-an. Namun, perlahan-lahan dia memperbaiki hubungannya dengan gereja dan berusaha kembali ke kursi kekuasaan pada 2007.
Namun, tahun lalu, hanya beberapa hari sebelum dia terpilih kembali untuk keempat kalinya berturut-turut sebagai presiden, dia menuding para uskup di negaranya merancang proposal politik pada 2018 atas nama “teroris” dan untuk kepentingan Amerika Serikat. Dia melabelkan para uskup sebagai teroris.*