Hidayatullah.com– Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, seorang komandan pasukan paramiliter Sudan, mengkritik para pemimpin militer negara itu yang betah duduk di kursi kekuasaan dan menyeru kepada mereka agar mundur dan menyerahkan pemerintahan ke tangan sipil.
Jenderal Dagalo, komandan Sudan’s Rapid Support Forces, mengatakan bahwa perselisihannya dengan para pemimpin militer lain, yang mencuat ke publik beberapa pekan terakhir, berpusat pada isu pengalihan kekuasaan ke tangan sipil.
“Kami menentang siapa pun yang ingin menjadi diktator,” katanya kepada pasukan RSF di sebuah pangkalan militer di ibu kota Khartoum, hari Selasa (7/3/2023), seperti dikutip Associated Press.
Sudan terjerumus ke dalam kekacauan setelah militer melakukan kudeta menyingkirkan pemerintahan dukungan negara-negara Barat pada Oktober 2021. menghentikan transisi jangka pendek menuju demokrasi setelah hampir tiga dekade masa pemerintahan otokratis di bawah Presiden Omar al-Bashir. Kudeta itu terjadi lebih dari dua tahun setelah demonstrasi rakyat memaksa Omar a-Bashir turun dari kursi kepresidenan pada April 2019. Di bawah banyak tekanan, para jenderal dan kelompok pro-demokrasi mencapai kesepakatan awal pada bulan Desember untuk pembentukan pemerintahan sipil. Kelompok-kelompok lain, termasuk para pemberontak, menolak kesepakatan itu.
Sampai saat ini perundingan-perundingan untuk mewujudkan pemerintahan sipil masih terus dilakukan.
Perselisihan Dagalo dan tokoh-tokoh militer yang lain memanas beberapa pekan terakhir. Komandan RSF itu, yang mendapatkan dukungan dari Uni Emirat Arab, semakin gencar melancarkan kritik terhadap para pemimpin militer, sebagian karena masalah pengalihan kekuasaan ke tangan sipil dan sebagian lagi perihal peleburan pasukan yang dipimpinnya ke dalam militer Sudan sebagaimana yang tercantum dalam kesepakatan di awal Framework Agreement.
Perselisihan itu dikhawatirkan akan menimbulkan bentrokan bersenjata antara militer dan pasukan paramiliter RSF, yang terkenal dengan kampanye bumi hangus dalam konflik di Darfur.
Namun, Dagalo menampik adanya masalah di antara mereka.
“Tidak ada masalah antara militer dan Rapid Support (Forces),” katanya kepada pasukan RSF yang menyambut pernyataannya itu dengan bersorak sorai. “Kami ingin mencapai transisi demokrasi yang sesungguhnya. Kami ingin negara ini bangkit.”
Dagalo tidak memberikan bukti-bukti bahwa para pemimpin militer enggan menyerahkan kekuasaan ke tangan sipil. Namun, komentarnya hari Selasa itu kelihan menyinggung Jenderal Abdel-Fattah Burhan, pemimpin dewan kedaulatan yang memegang kekuasaan pemerintahan Sudan saat ini.
Burhan dan Dagalo – yang juga menjabat wakil ketua dewan kedaulatan – keduanya memimpin kudeta 2021. Sepertinya, Dagalo ingin menegaskan peran pentingnya dalam mewujudkan transisi kekuasaan ke tangan sipil, dengan menyebut kudeta yang terjadi merupakan sebuah “kesalahan”.
Dalam pidatonya hari kemarin, Dagalo mengatakan bahwa negara-negara asing termasuk kerajaan-kerajaan di kawasan Teluk yang kaya dan pemerintah negara-negara Eropa telah menjadikan pemulihan transisi demokrasi sebagai syarat untuk penggelontoran kembali bantuan finansial ke Sudan.
Banyak pemerintah asing dan lembaga internasional berhenti memberikan bantuan kepada Sudan setelah kudeta terjadi dan menekan Burhan dan Dagalo untuk rela melepaskan cengkraman mereka atas kekuasaan dan pemerintahan Sudan.
“Semua pihak yang kami minta untuk memberikan dukungan kepada Sudan, mengatakan kepada kami: [bantuan akan diberikan] setelah pembentukan pemerintahan sipil,” kata Dagalo.*