Hidayatullah.com — Intervensi yang dilakukan dunia penyiaran dan telekomunikasi terhadap keberadan manusia saat ini sudah sangat progresif, massif dan kebablasan, demikian Ketua Bidangi Pertahanan, Luar Negeri dan Informasi DPR RI Mahfudz Sidik, di Jakarta, Kamis (30/12) kemarin.
Ia mengasosiasikan, dalam menangkap isi siaran, manusia memiliki dua instrumen penting yang dapat digunakan dalam hal ini, yaitu penglihatan (mata) dan pendengaran (telinga). Namun pada tabiatnya, jelas Mahfudz, keduanya sudah didesain oleh Sang Pencipta memiliki keterbatasan untuk dapat menampung semua suara dan sinyal yang ada.
“Seandainya mata dan telinga kita bisa mendengar dan melihat semua yang ada di sekitar kita bahkan yang jauh sekalipun, maka saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi,” seloroh Mahfudz.
Inilah, lanjut dia, yang menjadi tabiat dasar dari pendengaran dan penglihatan. Namun karena dahsyatnya intervensi telekomunikasi, tabiat dasar instrumen tersebut ditembus dan dipaksa untuk menerima apa saja di luar kapasitasnya.
Upaya upaya melawan tabiat itu, kata Mahfudz, adalah dengan adanya konten siaran yang mengekstensi hal hal yang lebih misalnya menampilkan sosok jin dalam program seperti “dunia lain” dan sejenisnya.
“Bahkan jangan-jangan cyberspace kita juga sudah banyak yang hilang karena sudah saking banyaknya sinyal sinyal berseliwerang bermunculan setiap waktu,” katanya.
Menurut Mahfudz, kontroversi UU Penyiaran No. 24/1997 dan UU N0. 32/2002 harus segera diselesaikan agar dapat memantapkan posisi KPI sebagai regulator.
Bangsa Indonesia, nilai Mahfudz, tidak punya desain strategi budaya nasional yang bisa menjadi acuan bersama. Meski kemudian UU tersebut kelak direvisi, namun jika tetap belum memiliki desain staregis yang tepat, maka keberadannya sebagai acuan tetap tidak akan maksimal.
“Kita tetap seperti kerumunan saja. Jadi kita harus punya desain strategi budaya yang jelas,” pungkas anggota DPR dari PKS ini. [ain/hidayatullah.com]