Hidayatullah.com– Laporan terbaru Human Rights Watch menyebutkan pemerintah China memperluas tindakan penutupan masjid ke daerah-daerah di luar Xinjiang, tempat di mana penduduk Muslim mengalami penindasan selama bertahun-tahun.
Laporan HRW yang dirilis hari Rabu (21/11/2023) mengatakan pihak aparat menutup masjid-masjid di Ningxia serta Gansu, di mana terdapat banyak warga etnis Hui Muslim, sebagai bagian dari proses yang secara resmi disebut sebagai “konsolidasi”. Laporan itu disusun berdasarkan pada dokumen publik, citra satelit dan kesaksian para saksi, lansir Associated Press.
Pemerintah setempat juga menghapus ciri-ciri arsitektur masjid agar terlihat lebih “Tionghoa”, sebagai bagian dari kampanye Partai Komunis untuk memperketat kontrol atas agama dan mengurangi kemungkinan pembangkangan dari pihak-pihak yang menentang kekuasaannya.
Presiden Xi Jinping pada 2016 menyerukan “Sinicization” agama, memaksa jutaan penduduk di Xinjiang – tempat tinggal Uyghur dan kelompok Muslim lain – melepaskan agama kepercayaan dan budaya mereka.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun lalu mendapati China telah melakukan “kejahatan terhadap kemanusiaan” di Xinjiang, termasuk melalui kamp “re-edukasi” yang diyakini menjadi tempat penahanan sedikitnya 1 juta orang Muslim Uyghur, Hui, Kazakh dan Kyrgyz.
Pihak berwenang China telah menonaktifkan, menutup, menghancurkan atau mengubah masjid-masjid untuk keperluan sekuler di wilayah-wilayah di luar Xinjiang sebagai bagian dari kampanye yang bertujuan untuk memberangus kebebasan keagamaan, kata HRW.
Penyebutan perihal “konsolidasi masjid” pertama kali diketahui disebut dalam sebuah dokumen internal partai tertanggal April 2018 yang dibocorkan ke media Amerika Serikat sebagai bagian dari berkas yang dikenal dengan sebutan “Xinjiang Papers”. Dokumen internal itu menginstruksikan kepada lembaga-lembaga pemerintah untuk “menegakkan manajemen terstandar pembangunan, renovasi dan perluasan tempat-tempat keagamaan Islam” serta menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi pembangunan masjid baru dalam rangka menekan (mengurangi) jumlah masjid secara keseluruhan.
“Pemerintah China tidak ‘mengkonsolidasikan’ masjid-masjid seperti yang mereka klaim, melainkan menutup banyak masjid yang berarti melanggar kebebasan beragama,” kata Maya Wang, penjabat sementara direktur HRW China. “Penutupan, penghancuran, dan pengalihan fungsi masjid oleh pemerintah China adalah bagian dari upaya sistematis untuk mengekang penerapan ajaran Islam di Tiongkok.”
Di desa Liaoqiao dan Chuankou di Ningxia, aparat meruntuhkan kubah dan menara tujuh masjid dan merobohkan bangunan utama tiga masjid di antaranya pada tahun 2019 sampai 2021, menurut rekaman video dan foto yang dimuat online dan dikuatkan dengan citra satelit oleh para peneliti HRW.
Tidak hanya itu, tempat wudhu salah satu masjid dirusak di bagian dalam, menurut rekaman video yang diterima HRW.
Kebijakan “konsolidasi masjid” juga disebut dalam dokumen Maret 2018 yang dikeluarkan oleh pemerintah Yinchuan, ibukota Ningxia. Menurut dokumen tersebut, pemerintah ingin “mengontrol secara ketat jumlah dan skala tempat-tempat keagamaan” dan menyerukan agar masjid mengadopsi “gaya arsitektur Tiongkok.”
“Integrasi dan kombinasi masjid” dapat “menyelesaikan masalah jumlah tempat ibadah yang terlampau banyak,” kata dokumen itu.
Di Provinsi Gansu, sejumlah pemerintah daerah telah melakukan memaparkan secara rinci upaya untuk “mengkonsolidasikan” masjid.
Di daerah Guanghe, di mana mayoritas penduduknya etnis Hui, pihak berwenang pada 2020 membatalkan pendaftaran 12 masjid, menutup lima masjid serta menutup lima lainnya, menurut buku tahunan pemerintah yang dirujuk HRW.
Berbagai laporan media juga menyebutkan pemerintah China sudah menutup atau mengubah fungsi masjid di daerah-daerah lain di seluruh penjuru negeri. Tindakan pemerintah itu tidak jarang diprotes oleh masyarakat. Pada bulan Mei, warga di kota Nagu di bagian selatan Provinsi Yunnan bentrok dengan polisi perihal pembongkaran terencana kubah sebuah masjid.*