Hidayatullah.com– Menjelang tepat dua tahun kematian Mahsa Amini, tampak wanita di Iran bepergian tanpa mengenakan penutup kepala yang merupakan kewajiban di negeri yang dikuasai Syiah itu.
Di media sosial, video orang-orang yang berjalan-jalan di lingkungan sekitar atau sekadar berbicara tentang kehidupan harian mereka, menangkap pemandangan di mana perempuan dan anak perempuan terlihat berjalan melintas dengan rambut panjang mereka terurai menutupi bahu mereka, terutama setelah matahari terbenam.
Amini, gadis Kurdi berusia 22 tahun, meninggal pada 16 September 2022 di rumah sakit setelah ditangkap polisi moral di Teheran karena dituding tidak mengenakan jilbab sesuai ketentuan.
Kematiannya menyulut aksi protes, yang menyerukan hak-hak “Wanita, Kehidupan, Kebebasan.” Namun, teriakan para demonstran kemudian berubah menjadi seruan terbuka untuk melakukan pemberontakan terhadap Khamenei, pemimpin spiritual Syiah tertinggi Iran.
Tindakan keras aparat terhadap para pengunjuk rasa mengakibatkan sedikitnya 500 orang tewas dan lebih dari 22.000 ditangkap.
“Keberanian ‘agak-agak’ saya untuk tidak mengenakan jilbab adalah warisan Mahsa Amini dan kita harus melindunginya sebagai sebuah prestasi,” kata seorang mahasiswa berusia 25 tahun di Universitas Tehran Sharif, yang hanya bersedia memberikan nama depannya Azadeh karena alasan keselamatan. “Dia mungkin seusia dengan saya kalau saja dia tidak meninggal,” ujarnya, seperti dilansir Associated Press Sabtu (14/9/2024).
Meskipun pemerintah tidak secara langsung mengambil tindakan atas peningkatan jumlah perempuan yang tidak mengenakan jilbab, ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sepertinya lanskap politik sudah agak berubah di Iran.
Pada bulan Agustus, pihak berwenang memecat seorang dosen universitas sehari setelah kemunculannya di televisi pemerintah di mana dengan nada meremehkan menyebut Amini mengalami “mati suri.”
Pada bulan Agustus, koran Ham Mihan melaporkan tentang sebuah hasil survei yang belum dipublikasikan terkait hijab. Survei yang dilakukan dengan pengawasan Kementerian Kebudayaan dan Bimbingan Islam itu mendapati bahwa jilbab telah menjadi salah satu isu terpenting di negara itu, sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya.
“Masalah ini telah menjadi perhatian masyarakat lebih dari sebelumnya,” kata sosiolog Simin Kazemi kepada surat kabar Ham Mihan.
Sementara seorang warga menilai terpilihnya politisi pro-reformasi Masoud Pezeshkian sebagai presiden menggantikan mendiang Ebrahim Raisi yang dikenal beraliran keras, sedikit banyak membantu mengurangi ketegangan perihal hijab di Iran.
“Entah dengan cara bagaimana, Pezeshkian sepertinya dapat meyakinkan orang-orang yang berkuasa bahwa pembatasan yang lebih ketat tidak serta merta membuat perempuan menjadi lebih patuh untuk berhijab,” kata Hamid Zarrinjouei, seorang pedagang buku berusia 38 tahun.
Pejabat tinggi Iran sekarang juga terdengar lebih lunak.
Hari Rabu (11/9/2024), Jaksa Agung Iran Mohammad Movahedi Azad memperingatkan aparat keamanan di lapangan supaya tidak memulai perkelahian fisik terkait jilbab.
“Kami akan mengadili para pelanggar, dan kami akan benar-benar melakukannya,” kata Movahedi Azad, menurut laporan media setempat.
“Tidak ada seorang pun yang boleh bersikap tidak pantas meskipun seseorang telah melakukan suatu pelanggaran,” ujarnya.*