Hidayatullah.com–Pemberitaan Majalah TEMPO edisi 26 Februari–2 Maret 2014 tentang MUI dan Sertifikasi Halal dinilai mengandung data tidak valid dan ada indikasi maksud tidak baik. Demikian dikemukakan Rachmat O Halawa, dalam “Silaturahim Gerakan Masyarakat Peduli Halal Indonesia” (Germaphi) di Bogor, Ahad, 16 Maret 2014.
Silaturahim diikuti puluhan aktivis halal dari LSM Halal Watch, Halal Corner, Chef Peduli Halal, My Halal Kitchen, Forum Masyarakat Peduli Halal (FORMALA), UKM Gemar Halal (UGH), Asosiasi Pecinta Produk Halal (APPPH), dan Komunitas Masyarakat Peduli Halal Indonesia (KOMPHI).
Turut hardir juga aktivis dari ICMI, Ummahatul Mukminin Indonesia (UMI), dan HPAI (Herba Penawar Alwahida Indonesia).
Rachmat Halawa, Ketua Halal Wacth, mengatakan, untuk mewujudkan manajemen LPPOM MUI yang clean & good, maka harus dipisahkan lembaga sertifikasi, lembaga konsultasi, dan lembaga edukasi.
‘’Kalau ketiga fungsi itu disatukan dalam sebuah lembaga, maka dapat menimbulkan conflict of interest,’’ tandas Rachmat.
Germaphi juga mengusulkan, lembaga sertifikasi harus dipisah dengan Komisi Fatwa. Fatwa halal tetap menjadi domain Komisi Fatwa MUI, namun lembaga sertifikasinya harus terpisah.
Namun Germaphi menolak jika pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, memposisikan diri jadi operator atau lembaga sertifikasi halal seperti halnya LPPOM.
‘’Pemerintah wajib menjamin kehalalan produk umat Muslim, dan Departemen Agama fungsinya sebagai regulator,’’ simpul Germaphi.
Menurut para aktivis Germaphi, lembaga sertifikasi halal sebaiknya jangan hanya satu, tapi juga tidak boleh banyak-banyak. Karena itu, keberadaannya perlu diatur oleh sebuah Badan Akreditasi Lembaga Pensertifikasi Halal. Demikian juga lembaga Consulting dan Education-nya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika) MUI Lukmanul Hakim, memaparkan, penunjukan MUI sebagai pelaksana sertifikasi halal sejak tahun 1988, karena Pemerintah menyadari bahwa kewenangan syar’iyah dalam sertifikasi halal ada pada lembaga keulamaan di Indonesia yaitu MUI. Untuk itu, pada 1989 MUI membentuk LPPOM yang memahami aspek sains dan keilmuan.
“Jadi, LPPOM adalah bagian integral dari MUI. Tidak bisa dipisahkan. Sertifikasi halal adalah merupakan wilayah syar’iyah yang harus menjadi kewenangan MUI sebagai lembaga keulamaan. MUI selama 25 tahun, sejak 1989, telah melakukan sertifikasi halal yang meliputi menetapkan standar halal, memeriksa produk, menetapkan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal,’’ tutur Lukman.
Ia menambahkan, kedudukan MUI sebagai pelaksana sertifikasi halal dipandang mampu mencegah adanya perpecahan dan perbedaan (khilafiyah) terhadap fatwa produk halal.
‘’Sertifikasi halal yang dilaksanakan oleh MUI selama ini, juga dipandang telah mampu menenangkan dan menenteramkan hati umat Islam dalam mengkonsumsi produk halal, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari menjalankan ibadah,’’ kata Lukman.
RUU JPH
Dalam acara tersebut, Lukman juga mengatakan, masih terbuka luas sebagaimana diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH).
Menurut Lukman, kewenangan pemerintah dalam RUU JPH meliputi delapan urusan, yaitu: (1) regristasi sertifikat halal; (2) pencantuman logo/tanda halal (labelisasi) pada kemasan produk halal; (3) pengawasan produk yang beredar dan produsen produk halal; (4) melakukan sosialisasi, komunikasi dan penyadaran (KIE=komunikasi, informasi dan edukasi) kepada masyarakat dan pelaku usaha;
Selain itu juga: (5) melakukan pembinaan kepada masyarakat dan pelaku usaha terhadap penyelenggaraan produk halal; (6) pengawasan/ penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal; (7) penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk; dan (8) urusan teknis lain yang belum diatur dalam proses penjaminan produk halal.
Menurut Elvina Rahayu, auditor halal senior, tugas pemerintah mestinya bukan mengurusi sertifikasi halal, tetapi mengelola dan membangun sistem Jaminan Produk Halal Nasional.
‘’Sertifikat halal adalah produk sistem voluntary (sukarela) tetapi jaminan halal bagi konsumen muslim adalah mandatory (wajib). Kewajiban inilah yang menjadi tanggungjawab pemerintah,’’ jelas Lead Auditor Keamanan Pangan LT IPB ini.
Vina melanjutkan, sistem Jaminan Produk Halal Nasional ini seharusnya juga terintegrasi dalam sistem INSW (Indonesia National Single Window) yang merupakan Peraturan Menteri Pertanian No.18/Permentan/OT.140/3/2011. Ini, kata Vina, untuk membentengi rakyat Muslim dari serbuan produk impor.
Dijelaskan Vina, pemerintah sebagai regulator halal di Indonesia, harus mempersiapkan perangkat untuk menjamin kehalalan bahan atau ingredient yang masuk dan beredar di Indonesia. Data atau informasi tentang asal usul bahan menjadi salah satu persyaratan dalam aktifitas sertifikasi demi kevalidan nilai sebuah sertifikat yang dikeluarkan.
Menurut pengalaman Vina, selama ini lembaga sertifikasi halal menemui kendala itu jika melakukan audit ke industri kecil yang sangat terbatas akses pemenuhan data.
Yang menarik, meski tulisan Tempo dianggap ada maksud tidak baik, namum LPPOM MUI tetap menjadikannya momentum melakukan muhasabah.*/Kiriman Nurbowo (Jakarta)