Hidayatullah.com–Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya (KIBAR) melaksanakan acara Dialog-KIBAR dengan tema “Pemilu 2014 sebagai Momen Membangun Sinergi & Meningkatkan Peran Umat Islam dalam Menentukan Masa Depan Bangsa”, hari Ahad 30 Maret 2014.
Dialog ini melibatkan beberapa komponen umat Islam yang ada di UK yaitu Nahdlatul Ulama-UK, Muhammadiyah-UK, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)-UK dan Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera UK (PIP PKS UK) yang dipandu oleh Dr. Syahrul Hidayat, seorang akademisi di University of Exeter.
Dalam dialog ini Hilali Basya mengawali pembicaraan dengan mengutarakan adanya fenomena pemilih yang sebagian besar pragmatis.
Mereka memiliki harapan sederhana yaitu menginginkan kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtera. Ketua Muhammadiyah-UK yang juga seorang kandidat Doktor di Univesity of Leeds ini juga menyampaikan bahwa kecenderungan organisasi Islam yang menggunakan isu-isu sektarian sebagai himbauan untuk memilih partai Islam.
Hal ini sudah terbukti kurang berhasil untuk mengangkat suara partai-partai Islam dalam pemilihan umum. Dia menambahkan bahwa yang diperlukan adalah diskusi di ruang publik yang terbuka ketika membahas masalah kemasyarakatan yang tidak hanya dilihat dari kacamata agama.
Sementara itu, Ganjar Widhiyoga, seorang kandidat doktor di Durham University, masyarakat akan meninggalkan partai politik karena mereka tidak dapat menyalurkan aspirasi selain karena kurangnya pendidikan politik di masyarakat.
Pragmatisme politik diawali dengan tidak adanya pencerdasan politik di masyarakat dan berujung kepada munculnya kekuatan elit politik yang hanya dibangun oleh kekuatan uang.
Secara alamiah, masyarakat akan melakukan protes dengan dengan tidak memberikan suaranya sebagai upaya untuk mengkritisi sistem dan kinerja parpol. Gejala pragmatisme masyarakat dalam Pemilu yang semakin meningkat juga dibenarkan oleh Dr. Hadi Susanto.
Hadi mengungkapkan satu fakta bahwa ada di salah satu daerah dimana pemenang pemilihan kepala desa adalah mantan mucikari dan penjahat yang menjanjikan kemanan bagi masyarakat desa.
Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak peduli dengan latar belakang pemimpin desanya tersebut.
Pada bagian lain, gugatan terhadap partai Islam juga dilontarkan secara tegas oleh Nizma Agustjik, salah seorang aktivis sosial yang juga perwakilan dari ICMI UK.
“Kenapa banyak caleg yang berubah Islami ketika Pemilu saja dan hanya menonjolkan ego masing-masing?” Sambungnya, “Saat ini partai Islam kebanyakan belum jelas menampakkan keislamannya dan hanya aktif bergerak ketika ada Pemilu kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Seharusnya partai Islam bisa bersatu, bekerjasama dan bersinergi untuk mewakili umat Islam Indonesia, minimal duduk bersama,” tambahnya.
Menjawab hal itu, Hendri Lucky yang mewakili PKS mengungkapkan bahwa upaya untuk bersatu sudah dilakukan sejak awal.
“Sejak awal PKS selalu mengajak komponen umat untuk bersatu. Namun sayang hingga sekarang masih belum bisa terwujud,”ujar Ketua PIP PKS-UK ini.
Ia menambahkan, “PKS melihat Pemilu adalah sebagai salah satu milestone dan kekuasaan adalah sarana untuk melayani masyarakat Indonesia lebih banyak lagi.
Hal ini merupakan aplikasi bahwa Islam adalah karunia bagi semua umat.
Dialog yang menggunakan fasilitas teknologi skype dan radio internet ini dapat diikuti oleh masyarakat di seluruh UK dan berlangsung santai dan penuh rasa persaudaraan.
“Dialog seperti ini harus dilaksanakan tidak hanya menjelang Pemilu tapi terus berkelanjutan agar bisa menyelesaikan permasalah umat,” ungkap Hadi yang juga merupakan dosen di University of Essex.
Di akhir acara Dr. Syahrul Hidayat berharap partai-partai Islam dapat bekerja nyata setelah Pemilu untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih baik.*/kiriman Abdullah Akhfi (UK)