Hidayatullah.com–Pemilu Belanda yang dilaksanakan pada Maret 2017 lalu memberikan hasil yang menggembirakan komunitas Muslim. Di luar dugaan partai VVD, partai dari Mark Rutte, petahana PM Belanda, dapat memenangi Pemilu dengan 33 kursi.
Rutte berhasil mengalahkan Geert Wilders, tokoh oposisi anti Muslim yang sedang naik daun. Partai PVV hanya berhasil merebut 20 kursi di parlemen. Apakah ini sinyal akan menguatnya kembali posisi komunitas Muslim di Belanda?
Merespon hal tersebut, Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI bersama ASEAN Young Leaders Forum (AYLF) Indonesia melaksanakan Diskusi Online pada Kamis (25/05/2017) dengan mengangkat tema “Kehidupan Muslim di Belanda Pasca Pemilu 2017”.
Acara menghadirkan Bowo Sugiarto (Kandidat Ph.D Tilburg University – Netherlands) sebagai narasumber dan Restu Pera (Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI) sebagai moderator.
“Geert Wilders yang anti Muslim akhirnya kalah dalam Pemilu Belanda walaupun partainya mengalami kenaikan suara dan menjadi oposisi terbesar di parlemen. Apakah ini menunjukkan politik Belanda kedepannya akan lebih ramah terhadap imigran Muslim?’, pantik Restu mengawali diskusi.
Baca: Kebencian terhadap Islam jadi Bahan Kampanye Partai Kebebasan Belanda
Menanggapi hal tersebut Bowo Sugiarto menyatakan bahwa kekalahan Wilders itu beum tentu merubah narasi politik di Belanda terkait imigran.
“Memang Wilders tidak menang, tetapi kita mesti ingat bahwa menjelang pemilu Mark Rutte sempat membuat pernyataan penting. Rutte mengatakan ke imigran untuk berperilaku normal atau keluar dari Belanda,” ungkapnya.
“Ajakan untuk berperilaku normal itu bersifat politis, karena yang dimaksud normal menurut Rutte adalah normal menurut mayoritas. Hal itu jelas menunjuk pada persoalan integrasi komunitas Muslim ke masyarakat Belanda,” tegas Bowo.
Pengamat politik Universitas Jenderal Soedirman itu kemudian menyatakan peranan imigran Indonesia terhadap kondisi Muslim di Belanda.
“Kedatangan sejumlah imigran Indonesia dan Suriname pada tahun 1950-an berpengaruh pada perkembangan Muslim di Belanda sekarang. Meskipun jumlah imigran Indonesia tidak banyak saat itu tetapi sudah mampu mendirikan Masjid pada 1951.”
Alumnus Universitas Gadjah Mada itu kemudian menegaskan dua hal penting agar proses integrasi komunitas Muslim dapat berjalan lebih baik.
“Pemerintah Belanda sebaiknya mempersepsikan komunitas Muslim sebagai citizen yang setara dengan warga lainnya. Kemudian komunitas Muslim Belanda sudah selayaknya membuka diri dan berkontribusi ke masyarakat yang lebih luas”, pungkasnya.
Diskusi Online KAMMI dan AYLF Indonesia kali ini diikuti oleh ratusan mahasiswa dan pemuda dari berbagai daerah di Indonesia. Tercatat juga perwakilan mahasiswa dari manca negara seperti IKRAM Siswa Malaysia, AYLF Filipina, Singapura dan Australia.*/kiriman Adhe Nuansa Wibisono (Jakarta)