Hidayatullah.com– Jawharuna Institute menyelenggarakan kajian dengan tema Pancasila dan Piagam Jakarta yang diisi oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar, sejarawan yang fokus menekuni sejarah pemikiran, terutama pemikiran ulama-intelektual di Indonesia.
Kajian ini adalah kajian kedua Jawharuna Institute ketika memulai kiprahnya sebagai lembaga kajian dan pemikiran Islam. Kajian kedua Diskusi Daring ini terbilang spesial, karena menyambut 75 tahun lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter).
Menurut Kang Tiar, begitu pria asal Ciamis Jawa Barat biasa dipanggil, Ahad (21/06/2020) itu, Pancasila pada dasarnya digali dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Nilai-nilai tersebut kemudian dirumuskan dan disepakati bersama. Kang Tiar kemudian membedah secara diakronis ciri khas sejarawan-lahirnya Pancasila.
Pembentukan BPUPK pada 29 April 1945 menjadi titik awal pembahasan dimulai. Badan ini terdiri dari 69 orang yang mewakili golongan Islam, birokrat, kerajaan, pangreh praja (residen, bupati) dan peranakan (Arab, China, dan Belanda).
Sidang tahap kesatu dimulai pada 28 Mei sampai 1 Juni 1945 membahas: Dasar Negara; Sistem Ekonomi; Sistem Pemerintahan; dan Sistem Hukum. Seluruh pembahasan dilakukan secara simultan sejak 29 Mei.
Beberapa tokoh yang memberikan pandangan mengenai dasar negara yaitu Mohammad Yamin, Wiranatakusumah, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, H. Agus Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Mohammad Hatta. Hingga selesainya sidang pada 1 Juni, masalah dasar negara ini belum juga selesai hingga dibentuklah tim khusus.
Tim ini mula-mula terdiri dari delapan orang, lalu diubah menjadi sembilan orang. Tim ini diketuai oleh Soekarno. Tim inilah yang berhasil menyusun draf dasar negara pada 22 Juni 1945. Draf ini kemudian disebut oleh Mohammad Yamin sebagai Piagam Jakarta dan oleh Soekiman Wirjosandjojo disebut Gentlemen’s Agreement.
Dasar negara yang disepakati dalam piagam tersebut ialah: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meski telah disepakati, pada sidang tahap kedua yang dilaksanakan 10 Juli 1945 terjadi pro kontra terutama pada kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dari kalangan Nasionalis dan Kristen.
Persoalan mengenai dasar negara ini terus dibawa ke hingga ke sidang perdana PPKI pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi. Dalam persidangan itu, kalimat hasil kesepakatan dalam Piagam Jakarta diubah, dihilangkan tujuh kata hingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Meski begitu, posisi Piagam Jakarta pasca sidang PPKI secara makna tidak berubah.
Bung Hatta sendiri menulis dalam biografinya bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap meski dengan menghilangkan tujuh kata menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara Ki Bagus Hadikoesoemo waktu itu mau menerima perubahan tujuh kata tersebut karena Hatta meyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid.
Dengan begitu, simpul Dr. Tiar, tidak bisa kita menafsirkan Pancasila dengan melepas proses sejarahnya. Kita pun tidak bisa menafsirkan Pancasilanya dengan satu tafsiran hanya dari seorang tokoh, misalnya menurut Bung Karno saja.
Sebab, saat itu Pancasila belum utuh. Sejarah panjang Pancasila hingga melahirkan Gentlemen’s Agreement dari semua kalangan memberi pesan kepada kita: Pancasila tidak patut diklaim oleh satu pihak dan dimonopoli tafsirnya.* Kiriman Fakhri Nurzaman