Hidayatullah.com—Intelektual liberal di Indonesia tidak kritis. Mereka mudah terpengaruh oleh pikiran-pikiran asing dan suka menelan mentah-mentah ide-ide dari luar.
Pernyataan di atas disampaikan Dr. Amin Fauzi, doktor lulusan Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM) dalam Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Saturday Forum di Kalibata Jakarta, Sabtu, 21 November 2015.
Dalam forum yang dihadiri oleh puluhan peserta itu Amin membahas respon cendekiawan muslim terhadap gagasan feminisme di Indonesia pasca reformasi 1998.
Menurut dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAIPI) Jakarta ini, cendekiawan Islam liberal cenderung mencari pembenaran dan gemar bicara mengeluarkan pendapat di luar bidang keahliannya.
Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Amin Fauzi juga mensinyalir adanya ‘pesanan’ proyek dari lembaga-lembaga donor internasional. Hal ini berdasarkan hasil wawancaranya dengan beberapa tokoh Islam di antaranya, mantan Ketua PB NU, KH. Hasyim Muzadi.
Menjawab pertanyaan salah seorang peserta terkait isu wahabisme, murid Profesor Kamal Hassan ini menegaskan bahwa perpecahan umat bisa diselesaikan dengan pendekatan keilmuan dan keikhlasan, bukan dengan pendekatan kepentingan dan fanatisme kelompok.
Meski dirinya adalah alumnus IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Amin Fauzi sangat kritis kepada tokoh-tokoh liberal yang ada di kampus-kampus perguruan tinggi Islam. Menurutnya, bisa dikatakan bahwa Islam liberal itu “jahmiyyah kontemporer”.
Forum diskusi dwipekanan ini ditutup dengan doa oleh Direktur Eksekutif INSISTS yang baru, Dr. Syamsuddin Arif, yang berharap seluruh peserta mendapat keberkahan ilmu dan silaturrahim.*/Arif