Hidayatullah.com– Ikatan emosional atau emotional bonding yang baik antar pasangan merupakan hal penting dalam menjalani kehidupan yang bahagia. Tak kalah penting, ikatan hati antara orang tua dan anak-anak juga amat dipengaruhi oleh hubungan yang baik orang tua.
Namun, karena sebab tertentu, ikatan emosional itu sukar terjalin terutama pada orang-orang memiliki masa lalu yang kurang menyenangkan yang menyebabkan trauma berkepanjangan.
Menurut psikolog yang juga spesialis pengasuhan anak, Elly Risman Musa, tekanan masa lalu tersebut memang mempengaruhi kualitas hidup bahkan dampaknya pun bisa berpengaruh terhadap kepengasuhan anak.
“Bagaimana kita menyelesaikan masalah dengan kepengasuhan anak anak kita, maka pertama-tama harus selesaikan dulu masalah kita orang tua sebagai suami-istri,” katanya dalam acara Webinar Series 02 Pra Munas V Hidayatullah bertajuk “Mengokohkan Jatidiri Keluarga Sebagai Basis Peradaban Islam”, Sabtu (19/09/2020).
Elly pun berbagi tips bagaimana membangun emotional bonding dan menghilangkan tekanan masa lalu yang barangkali selama ini selalu menghimpit dada.
Tips dari Elly ini mengambil spirit kontemplatif dari kitab suci Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 159, yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Dia menjelaskan, lemah lembut akan mengilangkan syak wasangka. Dengan memaafkan dan memintakan ampun serta membangun dialog, akan meneguhkan kebersamaan dalam jalinan ikatan hati. Dan, terus bersungguh-sungguh dalam upaya tersebut.
Dia menambahkan tipsnya. Setelah kita shalat, lanjutkan membaca istighfar seraya mengusapkan telapak tangan dari ujung kaki ke ujung kepala dan berkata pada tangan, “Wahai lenganku, aku izinkan engkau menjadi detektor untuk menemukan di mana tubuhku terasa berat karena beban emosiku selama ini.”
Setelah itu, bisa meletakkan telapan tangan di dada dan katakan kepada telapak tangan dan jari jari, “Wahai telapak tanganku dan jari-jariku, aku izinkan kau mencabut semua beban emosiku.” Letakkan tangan kita semua ke bagian tubuh.
Jika merasa harus diteriakkan, maka silakan diteriakkan dalam satu hentakan. Karena itu, perlu disiapkan kain atau bantal untuk menutup mulut wajah agar tidak membuat orang lain terganggu.
Baca: BMOIWI: Negara, Masyarakat, dan Keluarga Wajib Menjaga Generasi dari Kerusakan Moral
Setelah itu lakukan relaksasi dengan mengatur pernafasan. Bisa berelaksasi dengan bersandar seraya melafalkan shalawat dengan gerakan mulut hingga getarannya terasa di lekukan wajah. Lakukan berulang-ulang secara istiqamah.
“Kemudian duduklah berdua membicarakan perkawinan kita dulu. Ambillah kertas. Lihatlah anak-anak kita masing-masing. Anak nomor satu, kita kelirunya di mana. Panggil anak kita dan duduklah bersama secara berjejer tiga, bukan berhadapan seperti menyidang,” kata Elly berbagi tipsnya.
Elly menyarankan agar ayah yang harus memulai bicara ke anak pada momen tersebut. Kalau perlu latihan dulu, karena mungkin saja ayahnya pendiam sekali, atau bertipikal kasar, atau mungkin ayah yang lembut.
“Ceritakan semua pada anak tentang realitas selama masa pandemi ini, perasaannya, dan sebagainya. Cara kita bicara harus berubah. Dengan dada yang sudah merdeka, kita tak mungkin lagi marah marah,” tukasnya.
Dalam proses komunikasi dengan anak tersebut, orang tua harus berubah caranya seperti menurunkan frekuensi, jeli dalam membaca bahasa tubuh anak agar mengalirkan emosi anak, mampukan diri untuk menebak perasaannya dan jangan pakai 12 gaya populer.
Baca: Elly Risman: Orang Tua Perlu Menghindari 12 Gaya Populer Terhadap Anak ini
Gaya tersebut yaitu: memerintah anak, menyalahkan, meremehkan, membanding-bandingkan, mencap atau memberi label buruk, mengancam, menasihatinya di waktu yang tidak tepat sambil memaksanya harus menyimak dengan kata kata misalnya “dengerin mama!”.
Orang tua katanya juga jangan sekali-kali membohongi anak dengan janji yang tak ditepati, menghiburnya dengan kesenangan sementara seperti memberi uang jajan tanpa memberikan pengertian terlebih dahulu, mengkritiknya dengan kasar, menyindir dan menganalisa semua hal yang kita anggap negatif pada dirinya.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber lainnya yaitu Presidium Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) Dr Hj Sabriati Aziz, Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Hidayatullah (PP Mushida) Drs Reni Susilawati, Ketua Bidang Tarbiyah DPP Hidayatullah Dr Tasyrif Amin dan dimoderatori oleh Hanafi Usman.*