Hidayatullah.com—Untuk pertama kalinya Muhtar (55) berbahagia bisa melaksanakan shalat Idul Fitri. Pasalnya, ia bersama warga muslim di di desa Geti lama, Kecamatan Bacan barat utara Kabupaten Halmahera Selatan ini baru bisa menikmati ibadah shalat Id.
“Saya sangat terharu karena ada saudara muslim yang masih punya perhatian sampai sejauh ini,” ujar Muhtar kepada Tim Jamaah Masjid Asy-Syifa’ (JMS) yang mendampingi warga untuk melaksanakan shalat Id, katanya hari Kamis (13/5/2021) usai shalat Id, pekan lalu.
Menurut Haris, hari JMS, ini adalah sholat Idul Fitri pertama kali dalam sejarah di Desa Geti lama. Sebelumnya, hampir 5 tahun ini tidak ada kegiatan shalat Id.
Ceritanya, warga mengundang dai dari luar untuk bisa datang ke desa tersebut agar ada yang bisa jadi imam dan khatib shalat Id. “Sudah lama tidak ada sholat, karena semua mualaf tidak bisa jadi imam dan khatib,” kata Muhtar.
Menurut Muhtar, bahkan untuk wudhu dan shalat 5 waktu saja, banyak warga belum bisa dan banyak yang salah. Untuk memudahkan warga bisa melaksanakan shalat Id, JMS mengirim satu tim ke desa itu.

Tim terdiri dari Ustad Rakieb (dai desa Geti Lama), Ustad Faishol (koordinator dai), Kawal Buton (evaluator lapangan) dan Nasir (tim dokumentasi). Mereka berangkat Rabu siang dengan bodi, sebuah perahu kayu kecil.
Pengiriman tim sekaligus untuk mengawali proses pembangunan Musholla Mina Dhulumati Ilannur, yang sedang tahap pembangunan.
“Kami kesulitan mencari perahu, karena lin spit sudat libur menjelang Idul Fitri,” kata Haris dari JMS.
Untuk sampai di desa, dibutuhkan perjuangan ekstra keras. Maklum, transportasi untuk menuju desa ini tidaklah mudah.
Ombak dan cuaca kurang mendukung sehingga saat itu. Sehingga handhone harus disimpan di dalam cooler box agar tidak mudah basah.
“Demikian pula saat pulang dari desa Geti Lama. Mesin bodi sempat mati satu sehingga di tengah jalan kami harus balik ke untuk memperbaiki mesin,” katanya.
Saat pelaksanaan sholat Idul Fitri sebagaian mualaf terlihat banyak yang masih belum bisa tata-cara sholat yang benar. Untuk memudahkan shalat, jamaah meniru gerakan imam atau tim yang ikut mendampingi.

Selama khutbah, khatib menyampaikan pedan tentang pentingnya tauhid dengan bahasa sederhana. Selepas sholat, warga mengajak tim rihlah ke Pulau Geti kecil.
Sebagaimana diketahui, dalam tradisi desa ini, jika sudah dianggap saudara, seseorang akan diajak ke tempat ini, untuk disiram dengan air laut, pertanda dimulainya persaudaraan.
Meski shalat Id ini hanya untuk kaum Muslim, tetapi warga non-Muslim juga ikut merasa senang. Maklum, sehabis pelasanaan sholat, sebagaia warga non-Muslim undang makan bersama di depan masjid.
Menurut beberapa warga, jumlah penduduk nya desa ini sekitar 78 keluarga. 10 keluarga sudah menjadi mualaf.
Sebelumnya, di tahun 2000, semua warga telah masuk Islam. Namun kurangnya pembinaan dan minimnya juru dakwah, hanya tersisa 15 persen saja yang bisa bertahan dengan agama Islam.
Selain itu, menurut Haris, tidak ada dai yang datang dan tinggal di desa ini. Pembina Islam di desa ini semuanya tidak menetap.
Biasanya, usai ceramah kemudian pulang ke tempatnya. Awalnya, kegiatan keislaman di desa ini berjalan normal, khususnya saat bupatinya Muhammad Kasuba.
Melalui PABN, Kasuba membuat program apparatus berbasis nilai. Program ini menempatkan 1 dai per kecamatan, yang memungkinkan dai berkunjung. Namun setelah Kasuba tidak menjabat, program ini ditutup oleh pejabat penggantinya, sejak 5 tahun lalu.
“Akibatnya, dai yang datang tidak rutin dan tidak tinggal bersama masyarakat. Efeknya, shalat Jumat juga tidak ada. Sementara para mulaf masih banyak yang tidak bisa sholat dan wudhu,” kata Haris.*
Dukung Donasi Dakwah Media untuk berita-berita kabar saudara Muslim di seluruh Indonesia