Hidayatullah.com– Pimpinan Wilayah Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia (PW LIDMI) Sulawesi Selatan sukses mengadakan Diskusi Kepemimpinan yang bertema “Peradaban Bangsa Melalui Instrumen Kepemimpinan Beradab”, bertempat di Kahava Coffee Makassar, Sulsel, Rabu (21/12/2022).
Diskusi Kepemimpinan ini menghadirkan pemateri Ustadz Dr. Syamsuddin Arif, MA, yang kini menjabat sebagai Dosen Universitas Darussalam Gontor dan Pendiri INSISTS.
Ketua PW LIDMI Sulsel, Muhammad Ikram, S.Sos.I mengatakan bahwa dalam mewujudkan sebuah peradaban dalam berbangsa dan kepemimpinan yang beradab, tentu tidak semudah yang dipikirkan. Butuh waktu dan proses yang panjang.
“Salah satu langkah konkret yang wajib kita lakukan sebagai aktivis dan generasi muda hari ini adalah memulai dari diri kita sendiri, yaitu dengan menginternalisasikan nilai-nilai adab itu ke dalam diri kita lebih dahulu, agar cita-cita besar di atas bisa kita wujudkan,” ungkapnya.
Ustadz Dr. Syamsuddin Arif dalam awal paparnya menjelaskan, problem utama yang dihadapi umat saat ini adalah lose of adab, hilangnya adab, dalam kehidupan sehingga dapat menimbulkan orang biadab.
“Masalah utama yang dihadapi oleh umat Islam adalah masalah adab (loss of adab). Banyak orang yang berilmu tetapi tidak beradab, berpendidikan namun biadab. Adab adalah right action, perbuatan, perilaku serta tindakan yang baik dan benar dalam setiap keadaan paduan ilmu dan amal, pengetahuan dan perbuatan, teori dan praksis, pengenalan dan pengakuan,” ungkapnya.
Pendiri INSISTS tersebut menyebutkan ungkapan dari Prof. Muhammad Naquib Al Attas bahwa adab adalah untuk melakukan kebaikan melawan tindakan yang keliru. Bahwa adab adalah apa yang berlaku untuk manusia jika dia harus membebaskan dirinya, dengan sukses dan baik dalam kehidupan ini dan akhirat.
Tentang makna adab, Ustadz Dr Syamsuddin menyampaikan ada empat.
Pertama adalah Literature (kesusaseraan atau humaniora). Kedua adalah Literacy (pengetahuan dan keterampilan). Ketiga adalah Discipline (kedisiplinan dan kepatuhan). Dan keempat adalah Etika (perilaku, tata krama, aturan, kode etik yang baik atau benar).
Menurutnya, tercapainya makna adab dalam diri seseorang akan melahirkan akal yang sehat, sehingga dapat menerangi seluruh kehidupannya dan menuntunnya dalam kebaikan.
Namun, jika hal tersebut tidak tercapai, maka akan lahir kebiadaban dalam dirinya baik kepada alam, sesama manusia dan seluruh lini kehidupannya.
“Akal yang sehat adalah yang menerangi seluruh aktifitas kehidupan setiap manusia menuju pada perbuatan yang baik dan benar, yang menghalangi terwujudnya hal tersebut adalah dimana akal sehat menjadi lurus dan menerangi adalah hawa nafsu dna syahwat,” tegasnya.
Dosen UNIDA Gontor ini juga mengutip perkataan Prof. Ira M. Lapidus:
“Adab berawal dan berakhir dengan perbuatan paling baik (ihsan), karena perbuatan-perbuatan baik adalah tujuan utama dan sarana dasar menuju kesempurnaan dalam jiwa. Ibadat dan adat merupakan pencapaian dari perilaku karena keduanya diperintahkan dalam Al-Qur’an dan syariat. Keduanya memiliki nilai intrinsik sebagaimana Tuhan memerintahkan untuk bagaimana manusia seharusnya berperilaku.
Selain itu, ibadat dan adat merupakan isyarat yang diwahyukan oleh Tuhan yang kondusif bagi kesempurnaan jiwa. Dalam beberapa gambar dari penulis kami, ibadat dan adat membentuk jiwa, keduanya seolah-oleh ditandai memberi warna, keduanya adalah pasir tipis yang memoles cermin halus hati.
Untuk memahami adab, kita hendaknya tidak hanya mempertimbangkan kata itu, tetapi juga sistem yang saling berkaitan dengan konsep-konsep yang terkandung di dalamnya.
Konsep-konsep ini; ilmu, tasdiq, iman, Islam, merupakan kosakata dasar keimaman seorang Muslim. Hal itu semua menunjuk pada hubungan antara pengetahuan dan tindakan, sebagai kunci untuk sifat dasar manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Implisit dalam penelitian terhadap adab bukan hanya persoalan mengenai sastra dan peran sastra dalam kehidupan moral, agama, dan sosial, tetapi juga gagasan fundamental kaum muslim tentang bagaimana kehidupan harus dijalani untuk memenuhi tujuan keagamaan dari keberadaan manusia,” terangnya dalam paparan slide materinya.
Terakhir, Ustadz Syamsuddin Arif menukil perkataan Imam Al-Ghazali berkaitan tentang hakikat ilmu.
Imam Al-Ghazali mengatakan:
“Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuatmu bertambah takut kepada Allah, membuat mata hatimu semakin tajam terhadap aib-aibmu, menambah ma’rifatmu dengan menyembah-Nya, mengurangi keinginanmu terhadap dunia, menambah keinginanmu terhadap akhirat, membuka mata hatimu tentang rusaknya segala amalmu sehingga engkau menjaga diri dari kerusakan itu, dan membuatmu teliti atas perangkap dan tipu daya syetan,” pungkasnya.* (Muhammad Akbar)