Hidayatullah.com–Satu Suro di Surakarta (Solo, Jawa Tengah) ada tontonan ”menarik”. Beberapa kerbau bule keturunan kerbau Kiai Slamet diarak keliling kota Solo, Jawa Tengah.Awalnya, rute arak-arakan itu hanya mengelilingi tembok keraton. Kini, rutenya diperpanjang, melewati jalan protokol kota Surakarta. Karuan saja, masyarakat pun banyak yang menonton, baik masyarakat Surakarta sendiri, maupun masyarakat daerah sekitarnya, seperti Purwodadi, Boyolali, Klaten, dan Sragen, yang jaraknya bisa lebih dari 60 km.Mengapa mereka rela datang jauh-jauh untuk menonton arak-arakan ini? Rupanya mereka bukan sekadar menonton, tapi juga berharap kebagian ”berkah” dari sang kerbau bule itu. Apa itu? Ya, kotoran ”si Bule”Sutami, contohnya, datang dari Grobogan, Purwodadi, yang jaraknya sekitar 100 kilometer dari Solo, hanya untuk memburu air kencing kerbau. Benar saja, saat sang kerbau kencing, wanita itu menadahkan kedua tangannya. Lalu, cairan kuning beraroma pesing itu langsung dibasuhkan ke wajahnya. “Biar awet muda dan cantik,” kata wanita berusia 47 tahun itu.Lain lagi dengan Wartono, 50 tahun. Petani asal Sumberlawang, Kabupaten Sragen ini langsung meloncat mendekati sang kerbau –seolah takut orang lain mendahului—manakala sang kerbau itu buang kotoran. Plukk! Gundukan beraroma memualkan perut itu diraup dengan pecinya.”Ini akan saya taburkan ke sawah agar subur. Berkah Kraton ini semoga membuat hasil panen saya makin baik,” katanya dengan wajah berbinar-binar.Sementara Anik (35), pedagang sayur di Desa Gedangan, Grogol, diam saja ketika kerbau itu menyantap sayur-mayur yang dijajakannya selepas perayaan itu. ”Dia (kerbau itu) menyantap daun mbayung, bayem, dan daun singkong. Habis semua. Kata orang, (itu) bisa ngrejekeni (mendatangkan rezeki). Ya, saya biarkan saja,” ceritanya.Bukan Budaya KratonMenurut Puger, Kepala Sasono Pustoko Kraton Kasunanan, Solo, semua kebiasaan itu –memperebutkan kotoran kerbau– bukanlah ajaran Kraton Solo. “(Kebiasaan seperti itu) tidak ada dalam buku di sini. Instruksi dari kraton tidak ada, apalagi itu digunakan untuk hal-hal yang tidak benar.”Jika kotoran itu digunakan untuk pupuk tanaman, kata Puger lagi, masih masuk akal. Kotoran binatang ternak memang bagus dijadikan pupuk.”Tapi kalau untuk yang lain-lain, saya sebagai Pangeran di sini tidak bertanggung jawab. Itu karena emosi rakyat saja,” kata putra Pakubuwono XII ini lagi.Menurut Puger, tradisi memperebutkan kotoran kerbau sudah ada sejak zaman Kerajaan Demak. Budaya itu timbul karena rakyat pada saat itu amat cinta kepada rajanya. Mereka berebut ingin menyentuh Sang Raja. Akan tetapi, karena tidak bisa, akhirnya hewan piaraannya yang disentuh, termasuk kotoran-kotorannya. Kebiasaan ini kemudian bergeser. Kerbau itu malah yang dihormati secara berlebih-lebihan.Cuci PusakaSelain arak-arakan kerbau, di Karesidenan Surakarta, khususnya di wilayah Wonogiri, masih ada satu tontonan bernuansa syirik. Yaitu, acara jamasan (pencucian) benda-benda pusaka milik Kasunanan di waduk Gajah Mungkur. Acara ini juga dilangsungkan pada tanggal 1 Suro.Anehnya, air sisa cucian itu kemudian diperebutkan banyak orang. Air ini dipercaya oleh mereka mengandung banyak khasiat, termasuk menyembuhkan sakit.Yang lebih aneh lagi, kegiatan ini didukung penuh oleh Pemerintan daerah Wonogiri. Alasannya, apalagi kalau bukan untuk pemasukan kas daerah. Adanya kegiatan ini, PAD (Pendapatan Asli Daerah) meningkat.Ini diakui oleh Budi (33), bukan nama sebenarnya, salah seorang staf Departemen Pariwisata Wonogiri, kepada Hidayatullah. “Jumlah penjualan tiket masuk ke obyek wisata meningkat menjadi 10 hingga 20 persen,” tutur laki-laki berkacamata ini. [Thoriq/SAHID/hidayatullah.com]