SUDAH tengah malam. Lukman Alfath, 33 tahun, tengah di perjalanan yang sunyi itu menuju pulang usai mengisi kegiatan dakwah di dusun sebelah.
Tiba-tiba, turun hujan sangat deras. Perjalanan kaki yang harus ia tempuh sepanjang 600 meter sudah setengahnya. Sehingga, mustahil baginya kalau harus balik kanan.
Tak ada pilihan lain, Lukman akhirnya terus saja menerobos padatnya lintingan hujan menuju kediamannya di Dusun Data Orai, Desa Mario, Kecacamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Malam itu, seperti biasa, jalanan sama sekali tak berpenerang dan berkerikil licin karena hujan. Ia menembus dinginnya malam menggunakan senter.
“Harus selalu berhati-hati karena becek dan tanah lengket,” kata Lukman kepada media ini beberapa waktu lalu.
Kondisi alam membuat Lukman harus kerap berjibaku dengan medan dakwah yang tidak selalu mulus. Lokasi Pondok Pesantren Hidayatullah di pedalaman Desa Mario, Kecamatan Tanasitolo, yang dirintisnya dengan jarak tempuh 600 meter dari perkampungan masyarakat itu, lokasinya sunyi.
“Karena lokasi tanah hibah ini harus ditempuh ratusan meter dari perkampungan, sehingga lokasi pesantren belum punya tetangga sama sekali. Kalau malam sunyi senyap. Kalau siang baru bisa lihat orang lalu lalang,” ujarnya.
Kebetulan masyarakat di sekitar yang bertetangga 600 meter itu tiap pagi mengambil air bersih tidak jauh dari lokasi pesantren. Ada sebuah sumur tua kurang lebih 100 meter dari lokasi melintasi lokasi pondok.
Tantangan lain yang dihadapi Lukman adalah belum adanya tenaga dai selain dirinya di sana. Hanya dia, istri, dan tiga orang anaknya. Sementara masyarakat semakin haus dengan pembinaan agama Islam.
Tak pelak, kondisi itu membuat Lukman merasa cukup kewalahan. Setiap ada tugas dakwah ke tempat lain, misalnya, ia harus mengantar dulu anak istri pulang ke kampung untuk tinggal sementara dengan orangtua sampai ia kembali. Karena istri tidak cukup berani tinggal sendiri di lokasi yang terbilang masih berupa semak belukar itu.
“Yang lebih sulit lagi kalau saya ada urusan keluar daerah, harus ijin untuk pulang kampung menitip mereka sama orangtua. Begitulah kondisi tinggal di lokasi tanpa ada tetangga dekat,” ujarnya.
Belum ada masjid, kalaupun ada harus beranjak dulu ke dusun lain yang berjarak tempuh kiloan meter. Sehingga, Lukman hanya bisa sholat berjamaah bersama dengan istri dan anak-anaknya. Mengumandangkan adzan di tengah hutan, namun ia yakin bahwa ada malaikat Allah yang mendengar dan ikut shalat berjamaah.
Karena terbatasnya tenaga, praktis Lukman harus bertanggungjawab penuh untuk mengendalikan semua urusan pesantren yang baru dirintisnya itu. Yang cukup melelahkan baginya ketika musim penghujan tiba. Sekedar diketahui, Kabupaten Wajo adalah wilayah di Sulawesi Selatan yang terbilang berhawa cukup panas. Namun, kalau musim hujan tiba, tanahnya becek sekali, terutama pada jalan yang belum beraspal.
“Termasuk jalanan untuk ke arah lokasi pondok. Walau sudah dikerikil namun kalau hujan licin sekali. Selain licin tanahnya lengket. Gak bisa pakai alas kaki,” ungkap suami dari Darlina ini.
Bagi Lukman dan “staf-stafnya” yang tak lain istri dan anak-anaknya sendiri, kondisi alam di tempat tugasnya tersebut sangat berkesan dan kondisi itu masih berlangsung sampai sekarang.
Saat ini Lukman hanya tinggal bertiga dengan anak istri di lokasi tanah hibah dari pemerintah kota itu. Namun 2 orang anaknya kemudian dipindahkan ke Pesantren Hidayatullah Bone karena memang kampus yang dirintisnya ini belum mempunyai bangunan representatif, apalagi sekolah.
Pernah juga anaknya disekolahkan di MTS As’adiyah Sengkang. Seperti diketahui, Kabupaten Wajo adalah kabupaten yang identik dengan Pesantren As’adiyah yang didirikan oleh K.H. M. As’ad. Namun Salwa Syaika Syuhda, anak pertamanya itu, hanya bertahan satu bulan di Pendidikan As’adiyah sebab Lukman sangat kewalahan siang pagi harus antar jemput dengan jarak 8 kilo meter pulang pergi.
Masyarakat Bugis
Mayoritas penduduk Kabupaten Wajo adalah asli Bugis dan kegiatan dakwah apapun bentuknya diharuskan menggunakan bahasa Bugis asli yang dikenal mengandung tradisi linguistik sopan yang mengakar.
Itulah juga yang sedikit menjadi tantangan buat Lukman, karena walaupun terlahir sebagai orang suku Luwu tapi ia tidak fasih berbahasa Bugis. Sementara jamaah masjid pada hari Jumat lebih “mendengar” khatib yang berkhutbah dengan bahasa Bugis ketimbang bahasa Indonesia.
Sementara, Lukman tidak fasih berbahasa Bugis dan lebih familiar menggunakan bahasa Indonesia saat khutbah Jumat. Pernah suatu kali, pada saat khutbah masih tahap mukaddimah, jamaah orang-orang tua masih memperhatikan dirinya.
Begitu masuk ke materi inti di mana Lukman menggunakan bahasa Indonesia, jamaah khususnya orang-orang tua langsung memalingkan wajah. Namun, tidak di semua tempat atau dusun di Wajo berlaku “status quo” ini.
Kendati begitu, Masyarakat Wajo dan Bugis pada umumnya di wilayah tersebut dan sekitarnya dikenal relijius. Hal itu, diantaranya, nampak pada tataran masyarakat tingkat kota maupun desa subur dengan pembangunan masjid-masjid.
Bahkan, Sengkang yang merapat di wilayah tersebut dikenal sebagai Kota Santri di mana Pesantren As’adiyah berpusat di sini. Konon cikal bakal meluasnya pembangunan pendidikan pesantren di Sulawesi Selatan berawal dari Sengkang, Kabupaten Wajo.
Sengkang juga terkenal dengan istilah Kota Sutera di mana masyarakat Wajo adalah pengrajin kain sutra. Selain sebagian besar berprofesi sebagai PNS, mayoritas masyarakat Sengkang juga pedagang, nelayan, dan bertani. Sengkang juga adalah penghasil beras terbesar kedua di Indonesia.
Tak Merasa Sepi di Kesunyian
Hidayatullah Wajo sendiri dirintis oleh Lukman Alfath mulai akhir 2010. Dia mendapat amanah dari PW Hidayatullah Sulsel untuk memulai perintisan Hidayatullah di Kabupaten Wajo.
Alhamdulillah, dengan bantuan pemerintah kabupaten setempat, Lukman mendapat amanah hibah dari pemerintah Bupati Wajo H. Amran Mahmud, M.Si berupa tanah seluas ± 1 Hektar dengan harga 75 juta rupiah, tepatnya Dusun Data Orai, Desa Mario Kecamatan Tanasitolo, kurang lebih 600 meter dari jalan poros.
Selama perintisan Pesantren Hidayatullah di Kabupaten Wajo, Lukman harus berpindah-pindah tempatnya layaknya kaum nomaden. Awalnya tinggal di rumah simpatisan Hidayatullah bernama Drs. Legiman kurang lebih satu bulan. Kemudian pindah lagi di rumah salah seorang simpatisan Hidayatullah bernama Bapak Drs. H. Abd. Salam.
Satu tahun dia dan keluarga tinggal di rumah Haji Salam. Bersama istri, anak, dan 5 santrinya saat itu. Tiap pagi ke lokasi memulai perintisan membabat pembersihan lokasi. Tak dinyana, lokasi itu ternyata berkas perkampungan. Di dalamnya ada pohon coklat, pisang, dan kelapa.
“Kegiatan lainnya gencar melakukan silaturahim ke berbagai pihak dan tokoh-tokoh masyarakat,” ujar sarjana pendidikan jebolan STAN Baubau Sulawesi Utara tahun 2008 ini.
Selain itu, Lukman juga rutin mengisi kegiatan dakwah lainnya seperi khutbah Jum’at, ceramah tarawih, mengajar TPA, dan lain-lain. Ketua Yayaysan Fathul Mubarak Pondok Pesantren Hidayatullah Wajo memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dengan berkebun.
Lukman yang juga pernah diamanahi menjadi imam tetap Masjid Polres Luwu Utara ini kini terus mendaraskan kegiatan dakwahnya kepada khalayak yang haus akan pencerahan rohani.
Alhamdulillah, kini di pesantren yang dirintisnya di Tanasitolo telah berdiri bangunan pondok sederhana berukuran 6×12 beratapkan seng, berdinding bambu, berlantai semen. Lukman dan partner perjuangannya tak merasa sepi di kesunyian.*
Rubrik ini adalah kanal khusus lembaga Persaudaraan Dai Nusantara (Pos Dai). Dukung dakwah para dai nusantara melalui rekening donasi Bank BSM: 733-30-3330-7 atau BNI 0254-5369-72 a/n Pos Dai atau Yayasan Dakwah Hidayatullah Pusat Jakarta. Ikuti juga program, kegiatan dan kiprah dakwah dai lainnya serta laporan donasi di portal www.posdai.com