PAGI itu matahari bersinar cerah di bilangan Loppong. Jam sudah menunjukkan pukul 06.30 WITA, tampak sejumlah lelaki membawa parang tajam berdiamter sekitar setengah meter, sebagian lainnya membawa cangkul dan golok. Tak semua orang itu mengenakan alas kaki sepatu bot, meski medan berduri-duri, mereka kini bergegas menorobos semak belukar. Jangan salah sangka. Mereka tak sedang latihan perang, apalagi menjadi teroris. Pagi yang cerah itu mereka akan melakukan kerja bakti membangun kompleks pendidikan Islam dan masjid permanen untuk dijadikan basis pendidikan dan pembinaan keislaman di wilayah pedalaman Mamuju Utara itu.
Ustadz Muhammad Bashori, di pagi yang cerah bersinar itu bersama warga setempat bahu membahu membabat rumput liar dan semak belukar.
Alhamdulillah, kerja bakti hari itu berjalan lancar dan akhirnya dapat dituntaskan pula setelah beberapa hari sebelumnya memang telah dilakukan kerja bakti serupa. Usai kerja bakti mereka makan berjamaah dengan menu nasi panas, lauk ikan tembang goreng dan mie rebus. Sedaaap!
Suka duka di “Lahan Basah”
Ustad Muhammad Bashori adalah dai dari Pesantren Hidayatullah Wilayah Loppong, Dusun Taranggi, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat yang baru beberapa bulan dirintis. Kini ia sedang mempersiapkan penyelenggaraan pendididikan dasar dan pengadaan masjid reprentatif. Saat ini sudah dimulai kegiatan pendidikan tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
“Kesyukuran kami adalah Loppong. Sebuah dusun di Desa Taranggi, mungkin 25 kilo meter dari kampus Hidayatullah Mamuju Utara,” katanya.
Belum sempat tinggal lama, ia diputuskan pindah ke wilayah baru. Akhirnya, ia bersama keluarga yang harus ke sana mengisi kekosongan tenaga dakwah yang masih terbatas.
”Pergeseran petugas ini membuat kami semakin yakin kalau keputusan orang yang bermusyawarah itu tidak bikin menyesal,” ungkap pria berjenggot yang sebelumnya pernah bertugas di Aceh ini.
Belum lama ini, Muhammad Bashori sempat tenggelam di sungai di wilayah itu bersama motornya karena beratnya medan. Sebelumnya jembatan gantung yang menghubungkan pesantren itu dengan daerah lain di wilayah itu memang terputus karena dilibas air bah.
Muhammad Bashori menyelesaikan pendidikan Tsanawiyah dan Aliyahnya di Kampus Hidayatullah Guntung Tembak. Akhir tahun 1999 dia dan sekeluarga ditugaskan ke Cabang Mamuju untuk membantu kegiatan dakwah dan kegiatan sosial di sana. Hingga awal 2001 atas petimbangan pimpinan cabang, Bashori ditugaskan untuk belajar lagi dan akhirnya lulus dari Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Al-Hakim (STAIL) Surabaya tahun 2004.
Gempa dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004, ternyata membawa cerita baru buat Bashori. Dia bersama rombongan teman-temannya di STAIL dilepas ke sana bersama beberapa relawan Hidayatullah lainnya. Di provinsi Serambi Makkah itu, selain beraksi untuk emergensi ia sekalian konsentrasi melakukan rintisan cabang Meulaboh-Aceh Barat.
“Di Nanggroe, alhamdulillah kami mendapatkan cukup banyak pengalaman, merintis kampus pesantren, merehabilitasi korban tsunami, menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan dakwah. Semuanya jadi pelajaran mahal. Kami berdoa kepada Allah semoga selalu menguatkan iman kami untuk menjalankan amanah berat ini, dan kami berharap ke teman-teman di mana saja untuk bisa bekerjasama mengangkat proyek besar ini,” cetus pria peranakan Jawa kelahiran Mamuju ini.
Dampingi Orangtua
Pada pertengahan tahun 2007 ayah Bashori di Mamuju sering sakit-sakitan, malah kadang sering akut. Akhirnya oleh pimpinan wilayah Hidayatullah di sana dia dipindah ke cabang dekat rumah dengan pertimbangan pemulihan kesehatan orangtua sekaligus mendampinginya di usianya yang tak muda lagi.
“Oleh Pimpinan, kami ditempatkan di daerah yang masih baru dan kami merintis, yaitu Pasangkayu,” kisahnya.
Belum genap 2 tahun di ibu kota Kabupaten Mamuju Utara itu, ada seorang tokoh masyarakat yang merupakan pegawai kecamatan di daerah Dapurang mewakafkan tanahnya seluas 3 hektar.
Akhirnya Bashori berangkat lagi kesana bersama istri dan anak anak dengan ongkos apa adanya untuk merintis lahan dakwah baru di sana.
Bashori mengaku selalu bersyukur kepada Allah atas semua keputusan hamba-Nya yang bermusyawarah. Dengan membawa beberapa bungkusan kardus pengganti koper, akhirnya jadi juga acara pindahan itu.
Perjalanan rintisan stabil dan gayung pun bersambut. Masyarakat yang sudah lama menunggu kini jadi sumringah didampingi dai di mana mereka berharap agar ada perubahan dalam hidupnya kelak baik dari sisi spiritual dan kemandirian, Insya Allah. Kini pembangunan fisik sudah nongol di atas tanah datar berleter ‘L’ itu.
Kepada hidayatullah.com, ia mengatakan sedang berencana membangun masjid dan merintis lembaga pendidikan. Ia juga mengaju sedang membutuhkan sebuah kendaraan bermotor untuk kelancaran tugas dakwahnya.*/ac
Bagi pembaca yang ingin membantu perjuangan dai-dai di pedalaman, silakan langsung menghubungi Pos Dai