Oleh: Laily Chusnul Ch
Hidayatullah.com | “Indonesia mengalami kontraksi“, demikian prediksi yang dikeluarkan oleh The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) dalam diskusi webinar yang digelar oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Selasa (17/6/2020).
Head of Indonesia Desk OECD Andrea Goldstein mengatakan prediksi tersebut dikeluarkan setelah melihat perkembangan berbagai sektor ekonomi di Indonesia pada periode pandemi Covid-19. Bahkan angka kontraksi diperkirakan mencapai -2,5 persen hingga -3,9 persen jika wabah virus Corona (Covid-19) tidak tertangani secara optimal.
Lebih parah lagi Andrea mengungkapkan pada skenario buruk, OECD meramal hampir semua mesin pendorong ekonomi Indonesia akan terkontraksi. Private consumption (konsumsi rumah tangga) anjlok hingga -3,1 persen, gross fixed capital formation (pembentuk modal tetap bruto/PMTB) -4,6 persen, dan final domestic demand -2,7 persen.
Director of Country Studies Economics Department OECD Alvaro Pereira mengatakan pandemi Covid-19 merupakan krisis kesehatan sekaligus ekonomi terparah sejak Perang Dunia II. Wabah Virus Corona telah menimbulkan disrupsi pada sektor kesehatan, ketenagakerjaan, dan membuat ketidakpastian di seluruh dunia. Dia memprediksi pemulihan ekonomi global akan berjalan lambat serta menimbulkan efek krisis yang berkepanjangan. (Bisnis.com, 17/6/2020)
Jauh sebelum adanya pandemi Covid-19, kondisi perekonomian di Indonesia belum pernah menunjukkan secara nyata ke arah positif. Selama ini hanya berupa angka statistik diatas kertas dan klaim dari penguasa maupun pejabat negara lainnya bahwa utang Indonesia masih di kategori aman. Padahal utang luar negri Indonesia yang mencapai 6.376 triliun (kurs 15.600) dikutip dari Kompas.com 15 April 2020 tersebut telah menyita pos APBN hanya untuk membayar utang berikut bunganya. Tentu saja dampaknya negara gagal meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani tak menampik, pembayaran bunga utang pemerintah memang terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, beban pembayaran bunga utang secara nominal selama periode 2014 – 2019 rata-rata naik sebesar 15,7%, sedangkan rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) juga naik dari 1,26% pada 2014 menjadi 1,7% dari PDB pada 2019. Naiknya beban dari sisi total pembayaran bunga utang tidak diimbangi dengan kemampuan membayar bunga utang yang ditunjukkan dengan rasio bunga utang terhadap pendapatan negara yang terus mengalami kenaikan. (Bisnis.com, 22 Juli 2019)
Penyebab utama dari bertambahnya utang ini adalah defisit anggaran yang diterapkan oleh pemerintah, artinya pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan pemasukan. Kemudian alternatif kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah ketika mengalami defisit anggaran adalah: efisiensi pengeluaran pemerintah, meminjam uang (utang), mencetak uang dan dalam jangka panjang akan menaikkan pajak. Efisiensi pengeluaran pemerintah sangat jarang dijadikan sebagai kebijakan utama. Kebanyakan pemerintah lebih memilih dengan menambah utang dan menaikkan pajak dalam jangka panjang, serta mencetak uang sebagai jalan terakhir.
Pada hakikatnya, ketika negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, maka sangat rentan dengan guncangan fiskal. Karena sumber pendapatan negara terbesar adalah pajak dan utang. Jika negara tidak mampu memungut pajak dari rakyatnya, maka utang menjadi solusi pemenuhan fiskal negara.
Utang kepada para kapital yang terus membumbung inilah yang justru mengancam kedaulatan negara dan menambah penderitaan rakyat secara tidak langsung. Negara mudah sekali didikte sesuai dengan kepentingan para kapital sebagai konsekuensi dari utang.
Solusi Baru
Dengan adanya pandemi Covid-19 ini telah membuka mata dunia kapitalisme global telah gagal menyelesaikan krisis keuangan.
Islam tidak mengharamkan utang. Hukum berhutang adalah ja’iz (boleh). Namun, aktivitas utang yang tak terkendali akan mengarahkan seseorang kepada perbuatan munkar. Berdusta dan ingkar janji akan menjadi sarapan sehari-hari bagi orang yang sudah terlilit utang. Segala hal akan terlihat benar asalkan dapat menambah jumlah nominal utangnya. Hal seperti inilah yang diwanti-wanti oleh Rasulullah ﷺ. Utang hanyalah sebatas emergency exit saat kita sudah tidak lagi memiliki sumber pundi-pundi rupiah untuk bertahan hidup.
Uang dari hasil utang bukanlah sesuatu yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan konsumtif, tetapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya produktif.
Bila negara terpaksa berhutang karena minim dana dalam rangka pembiayaan pembangunan, maka boleh negara berhutang kepada siapapun baik domestik maupun asing. dengan syarat tidak disertai riba. Karena akad utang riba tersebut jelas batil dan haram.
Utang yang diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara’ juga tidak boleh, misalnya dengan konsesi penguasaan hak milik umum tertentu untuk diserahkan kepada pemberi utang. Sejatinya tanpa berhutang, Indonesia mampu membiayai pembangunan dengan cara mengoptimalkan pengelolaan secara mandiri sumber daya alam yang gemah ripah loh jinawi. *
Penulis sarjana ekonomi, pemerhati social-ekonomi