Oleh: Umar Hadi
Haji menempati kedudukan yang sangat tinggi dalam struktur ajaran Islam; termasuk rukun Islam yang kelima. Ada pahala yang sangat besar yang dijanjikan Tuhan bagi orang ikhlas menunaikan ibadah yang membutuhkan kesiapan mental, finansial dan fisik ini. Karena itu haji menjadi impian setiap muslim.
Dalam pandangan Islam, setiap ibadah memiliki dua dimensi yang saling berkaitan; dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal bertugas menguatkan kapasitas internal keimanan dan ketakwaan. Sementara dimensi horizontal mengokohkan persaudaraan, simpati, empati, dan semangat filantropi lainnya. dua dimensi di atas menyatu secara elegan dalam ibadah haji.
Karena, pelaksanaan ibadah haji sebagai sebuah persembahan tentang penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi Islam, dan ummah. Sehingga, siapapun yang melaksanakan ibadah haji harus mempersepsi dirinya sebagai seorang pahlawan yang punya tanggung jawab besar mencerdasakan kehidupan umat dalam berbagai aspeknya ketika kembali ke tanah air masing-masing. Haji yang punya kesadaran aktif memperbaiki kehidupan masyarakat itulah yang saya sebut dengan ‘haji mushlih’.
Pendidikan Ibadah haji yang melahirkan manusia muslim yang mushlih dapat dijelaskan melalui fakta bahwa dalam ibadah haji manusia dingatkan kembali visi dan misi eksistensialnya di dunia; sebagai khalifatullah. Muslih yaitu orang-orang yang berbuat baik dan menginginkan kebaikan.
Kesadaran sebagai khalifatullah sendiri lahir dari semangat kesadaran bertauhid yang, salah satunya, dapat ditransfusi melalui pemahaman yang utuh terhadap kalimat talbiyah.
Kalimat talbiyah yang mengajarkan tauhid menegaskan bahwa manusia yang ideal itu bukanlah manusia yang selalu asik berhubungan dengan Tuhannya (asketik), tetapi alpa dengan urusan kemanusiaan sesamanya. Tauhid sebagai esensi ibadah haji telah lama dipahami oleh para ulama sebagai elan vital dan etos pembebasan masyarakat dari perbudakan, penjajahan, pembodohan, dan semua tindakan-tindakan yang merusak kehormatan manusia.
Dengan kata lain, Tauhid harus ditransformasi menjadi ideologi dan pandangan hidup (worldview) yang menyentuh realitas sosial. Amin Rais menyebutnnya dengan Tauhid Sosial. Manifestasinya tercermin dalam sikap budaya, sikap mental yang selalu berkontribusi dan mendistribusikan kebaikan dimana saja dan kapan saja
Fakta para haji yang menjadi agen reformasi (mushlih) dengan melakukan aksi-aksi kepahlawanan, terekam secara apik dalam sejarah Islam Nusantara. Pada masa kolonial mereka bertidak sebagai counter-elit yang sangat meresahkan para penjajah.
Misalnya, Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, KH Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Dr Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Itu sebabnya, belanda pada waktu itu menerapkan politik identitas dengan memberikan gelar “haji” bagi muslim Nusantara yang berangkat haji ke Makkah. Tujuannya, agar mereka mudah diawasi. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Menjadi haji yang mushlih memang berisiko daripada haji yang shalih (saleh secara pribadi). Alasannya para haji yang mushlih selalu aktif terlibat menebar kebaikan dan mencegah kerusakan. Dan salam sejarah, siapapun yang melakonkan aksi-aksi kepahlawanan selalu mendapatkan intimadasi dan resistensi lainnya. Itulah sebabnya Lukman al-Hakim mewasiatkan anak-anaknya agar bersabar ketika menjadi orang-orang yang mushlih (QS. Lukman: 17).
Meski menjadi haji yang mushlih sarat resiko, namun keberadaan mereka bisa menjadi salah satu sebab tuhan tidak menurunkan azabnya ke negeri negeri yang zalim (QS. Hud: 117). *
Penulis tinggal di Berau