Sambungan artikel PERTAMA
Hidayatullah.com—APA yang saya tulis ini merupakan kisah perjalanan haji saya tahun lalu, saya baru sempat menuliskannya sekarang, sebagai obat rindu sekaligus ingin mengenang kembali ibadah yang banyak dirindukan orang ini.
Hari-hari ini, waktu shalat lima waktu di masjidil haram adalah waktu prime time yang harus direbut. Kita harus datang dua jam sebelum adzan shalat, agar bisa memilih tempat yang mustajabah, misalnya dibelakang Hijr Ismail atau Multazam, jarak antara sudut Hajar Aswad dan pintu Ka’bah.
Multazam merupakan tempat mustajabah yang paling utama. Lalu di belakang Maqam Ibrahim. Jika berhaji atau umrah, sesudah melaksanakan thawaf tujuh putaran dan berdoa sejenak di Multazam, umat Islam disunahkan shalat di belakang Maqam Ibrahim (tempat pijakan kaki Nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah). Maqam Ibrahim sendiri lokasinya masih di dekat Ka’bah, tidak jauh dari Multazam
Meski begitu, waspada dan awas menjadi syarat utama untuk bisa berada di kawasan mustajabah itu, karena arus keluar masuk jamaah sudah luar biasa padat. Dua jam sebelum shalat, pintu utama, Gate King Abdul Aziz biasanya sudah ditutup. Jika tidak memperhatikan ini, bersiaplah shalat dijalanan, emperan mall atau di dalam mall.
Kami masuk Makkah menjelang dini hari dan langsung melakukan umroh. Bagi yang sudah sering umroh, perjalanan haji tetap tidak bisa digantikan, rasanya berbeda, lebih istimewa, lebih terasa. Kami masuk lingkaran Masjidil Haram dengan agak tergesa, karena suasana sudah mulai padat. Saat itu, Ka’bah belum kelihatan, karena tertutup oleh banyak tiang yang berselang seling, namun sesaat setelah mendekat. Subhanallah… Inikah Baitullah itu? Saat terlihat kiswah Ka’bah, yang terduduk tidak hanya tubuh ini, namun hati ini benar-benar jatuh teronggok tidak punya daya. Berat rasa berdiri, seperti kehilangan tulang. Sebelum melangkah, air mata lagi-lagi sudah jatuh berderai. Setiap orang sudah bergelut dengan perasaannya sendiri, merajuk, memohon ampun dan memohon semua yang ia minta.
Lama kupandangi, bangunan batu persegi yang merupakan saksi Ke-Tauhitan para Nabi-nabi ini. Mataku memulas bangunan kotak itu dari kiri kanan atas ataupun bawah. Inilah Ka’bah, yang ditentukan Allah sebagai arah shalat dan di atas Ka’bah ini, lurus ke atas ada Baitul Makmur atau Bait Al-Makmur, lurus letaknya dengan Ka’bah, di atas langit ketujuh di bawah Arsy. Setiap hari, 70 ribu malaikat Thawaf disana, dan mereka tak kembali sampai kiamat nanti, demikian kata kutipan hadits.
Kami juga tak punya kata-kata…. Labaik ya Allah… Bangunan yang sejatinya ada sejak Nabi Adam dan dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, ini punya banyak makna dan cerita . Kami benar-benar terduduk, tertunduk… sebelum akhirnya kami laksanakan shalat Tahiyatul masjid di masjid yang paling istimewa. Karena sekali shalat disini, berpahala 100 ribu kali shalat.
Lantas kami mulai masuk lingkaran Thawaf , putaran yang besar itu menelan tubuh-tubuh kami. Kami berjalan memutar …berputar, Ka’bah ada disebelah kiri kami, dengan perasaan tidak percaya, sedekat ini saya dengan Ka’bah, namun saat Thawaf dalam umrah wajib, kami tak boleh menyentuhnya, karena bisa batal terkena wanginya kiswah Ka’bah.
Sebanyak itu orang ber-Thawaf, kami tetap merasa lega. Dalam setiap putaran doa berselang seling, minta ampun dan harapan, agar menjadi lebih baik, agar mambrur, agar selalu dituntun Allah sampai ke anak cucu. Yang paling menguras air mata adalah, dini kita teringat orang-orang yang kita cintai, anak-anak, istri, saudara dan orang tua kita. Tak jarang saya terdiam, karena tidak tahu harus berkata apa, kecuali doa saat di Rukun Yamani sampai hajar aswad ; Doa sapu jagat; “Ya Allah berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka.”
Dosa yang pernah kita buat juga berselang seling diputar oleh Allah dalam benak kita, seakan seperti melihat film kita sendiri.
Dalam atmosfer Thawaf ini, siapa kita, dari kelompok mana dan apa predikat kita, tidak laku! Allah melihat lebih dalam, dalam hati kita. Niat menjadi amat penting, berapa orang yang berduit dan berkali-kali haji, tak lagi bisa masuk dan menyentuh Ka’bah, hanya karena niatnya salah, dia berniat mengantar saja, tidak berniat ibadah. Jadilah ia hanya sebagai pengantar, sampai pintu masjid saja! Begitu juga suami istri yang kerap kali bertengkar, entah niatnya apa, saat disana mereka terdiam seperti bisu. Ternyata niat hanya karena Allah itu sungguh maha berat.
Lalu kita lanjutkan dengan Sa’i, berjalan antara bukit Safa dan Marwa. Disinilah saat umroh pertama kali, tiga tahun lalu, saya melihat orang menyerupai bapak dan ibu almarhum. Saya berharap melihatnya lagi, namun Allah tak memberi izin, buktinya selama haji, wajahnya tidak tampak.
Saya dapat kamar, persis di depan Masjidil Haram. Tempat yang strategis untuk mengimbangi semangat ibadah yang sedang memuncak. Ustadz Rosyidin, mengingatkan agar untuk sementara meninggalkan gadget, fokus dan fokus.
“Fokus ibadah, jangan pedulikan apa yang terjadi di Indonesia. Baca al-Qur’an sebanyak-banyaknya, baca doa,” katanya lantang. Suara Ustad Mihrab Qolbi ini memang keras, sehingga seringkali kita tersadar dari suasana yang hiruk pikuk dan lelahnya badan.
TV di kamar kami mati, tiga kali kami memanggil petugas, ketiganya tidak berhasil menyalakan TV. Padahal TV di kamar penting, karena TV menyajikan suasana live dari Masjidil Haram, sehingga kita tahu ramai atau tidaknya jamaah, begitu longgar, kita cus ke masjid. Tapi kalau ramai, kita harus cari siasat lewat pintu mana yang tidak berdesak.
Biasanya kami istirahat panjang setelah sarapan, itulah waktu terpanjang untuk istirahat. Mulai dhuhur sampai isyak, waktunya pendek-pendek sehingga menunggu di masjid akan lebih baik dari pada balik ke hotel. Di Masjid juga asyik, karena orang Indonesia gampang dilihat dan sering kita temui. Saya kalau kesasar, gampang. Saya akan dekat-dekat dengan petugas kebersihan yangberseragam hijau, lalu saya berteriak “Mas”.. dengan suara keras, kalau dia menoleh berarti dari Indonesia. Lalu baru tanya ini itu.
Di masjid ternyata jamaah Indonesia dari kelompok haji reguler banyak, mereka bahkan bingkisan makan untuk seharian, karena maktab mereka yang jauh dari Masjidil Haram. Tidak mungkin bolak-balik, karena maktab mereka bisa dua sampai tiga kilo jauhnya, meskipun ada bus shalawat, namun mereka tidak selalu naik.
Sampai pada sabtu, 11 September 2015, setelah shalat ashar saya dan istri memutuskan untuk beristirahat di kamar. Capek luar biasa, tapi kami pun tak bisa tidur, takut bablas magribnya. Ngobrol dengan istri, sampai kemudian di ujung horizon saya lihat awal pekat menyerupai garis tebal. “Wah mau hujan lagi kayaknya,” sambil menunjuk sederet lapisan hitam yang melayang di atas horizon yang tipis. Istri saya hanya menenggok saja.
Saya pasang Go Pro dan saya siapkan kamera, garis hitam pekat itu makin lama makin membesar menuju arah Masjidil Haram, garis itu menjadi semacam atau kabut pekat yang turun dari pegunungan, memang kota Makkah berada di lembah yang dikeliling gunung batu.
Saya setia mengamati pergerakan badai pasir itu sambil minum kopi. Sejenak kemudian angin yang luar biasa besar menerpa dinding hotel, kaca hotel yang rangkap dua itu bergetar. Lalu bunyi mencuit disana-sini terdengar. Waduh… ngeri juga.
Dari kamar, saya bisa melihat jalur Sa’i dan saya juga bisa melihat banyaknya crane yang ada terpasang disana. Saya justru khawatir terhadap crade dekat jendela hotel saya, kalau roboh, tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Saya masih sibuk dengan kamera dan Go Pro saya.

Hujan luar biasa deras, dan badai itu terlihat jelas dari jendela kamar. Jarak pandang hanya tinggal semeter! 30 menit suasana menakutkan itu terjadi, sampai akhirnya langit terang kembali. Saya masih tidak sadar apa yang terjadi. Menjelang magrib kami turun dan shalat.
Setelah magrib, saya baru mendengar kabar ada crane jatuh. Saya bertanya dimana kejadiannya dan kapan? Begitu mendapat penjelasan, saya bergegas lari ke kamar. Saya amati foto saya satu persatu. Benar, tanpa sadar, saya memotret bagaimana crane induk itu roboh dan hilang dari pandangan . Saya kembali menengok ke bawah, puluhan ambulans hilir mudik melakukan evakuasi. Saya langsung membuka berita online, Ya Allah … Allahu Akbar… Allah tengah mencoba ummatnya, 107 orang terpilih untuk syahid di Masjidil Haram.
Saya telepon ke Jawa Pos di Surabaya dan mengirim foto-foto saya sebelum badai menerjang sampai badai reda, serta ‘hilangnya’ crane dari pandangan.
Setelah kejadian itu, ujian terbesar kami adalah tidak bisa iklas, kita selalu was-was. Subuh berikutnya, teman-teman yang shalat di pelataran Masjidil Haram dikejutkan suara keras, seperti angin, beberapa jamaah sudah pontang-panting mencari tempat perlindungan. Ada yang menyatakan melihat dan merasan angin menerjang dengan keras, sementara jamaah lain, merasa tidak terjadi ada apa-apa. Saya tidak berani menyimpulkan kejadian-kejadian itu.
Makkah adalah tanah Haram (mulia) disini kekuasaan Allah seringkali berlaku langsung, tanpa penundaan, semua bisa terjadi, bahkan menutup mata bagi orang yang berdampinganpun bisa terjadi. Sementara orang lain disampingnya mengalami hal luar biasa.
Esoknya saat umroh sunnah, kami lewat jalur Sa’i yang ketiban crane raksasa itu. MasyaAllah kepala crane sebesar rumah itu masih teronggok disana. Saya tidak membayangkan angin apa yang menyapunya. Saya nggak ingin menerka-nerka dan berpikir macam-macam, Allah yang punya mau, dan Allah yang punya skenario. (bersambung)