Hidayatullah.com– Ketua Ombudsman RI, Amzulian Rifai, mengatakan, sebanyak 58 ribu calon jamaah umrah First Travel harus mendapat kepastian terkait kerugian yang mereka alami. Ia menilai, aset-aset yang dimiliki First Travel, semestinya dijual untuk menutup kerugian calon jamaah.
“Jangan sampai 58 ribu jamaah itu tidak ada kepastian. Menurut saya salah satunya, misalnya menjual aset-aset yang ada, jangan kemudian kita berdebat dan asetnya tidak bisa dijual dan seterusnya. Tapi yang jelas, harus ada kepastian,” ujarnya di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (04/10/2017) lansir ROL.
Amzulian mencontohkan, banyak perusahaan yang asetnya dijual untuk membayar kewajiban-kewajiban perusahaan. Ini sama halnya dengan kasus First Travel. Perusahaan jasa travel umrah ini juga harus membayar ganti rugi kepada calon jamaahnya.
Seluruh calon jamaah yang dirugikan perusahaan itu, terangnya, harus diprioritaskan untuk mendapat ganti rugi setelah aset-aset perusahaan dijual.
Baca: Kasus First Travel: Peringatan Keras bagi Jamaah, Biro dan Pemerintah
Menurut Amzulian, sebetulnya pembekuan izin First Travel kurang tepat karena banyak calon jamaah yang ingin diberangkatkan. Dengan dibekukan, maka calon jamaah kesulitan untuk diberangkatkan.
“Karena masih ingin (berangkat), maka jangan dulu dibekukan,” tandasnya.
Selain itu, Ombudsman menilai, tatakelola umrah belum melindungi rakyat dan jamaah. Fenomena seperti gagalnya puluhan ribu calon jamaah First Travel dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) lainnya adalah salah satu bentuk pengabaian pelayanan dalam penyelenggaraan umrah dan merupakan maladministrasi.
“Kami melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan umrah, terdapat beberapa temuan dari investigasi,” ujar Komisioner Ombudsman Ahmad Su’aedy pada kesempatan yang sama.
Ahmad mengungkapkan, Kemenag tidak memiliki database jamaah umrah atau dengan kata lain mereka tidak didata, baik yang sudah maupun akan berangkat umrah. Data hanya di PPIU dan mereka umumnya tidak bersedia memberikan data kepada pemerintah.
“Sehingga menyulitkan dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap penyelenggaraan umrah oleh Kementerian Agama,” ungkapnya.
Ahmad menambahkan, selain persoalan database, ditemukan juga pola rekrutmen jamaah umrah yang berpotensi menimbulkan permasalahan, yaitu banyak jamaah direkrut oleh ustadz atau tokoh masyarakat yang bekerja sama dengan PPIU. Namun, dalam proses penyelenggarannya pihak PPIU tidak terlibat langsung dalam penyelenggaraan umrah.
“Karena hanya memberikan fasilitas legalitas lembaga untuk memberangkatkan jamaah, atau istilahnya pinjam bendera,” jelasnya.
Untuk itu, Ombudsman meminta agar Kemenag mengontrol secara langsung penyelenggaraan umrah ini.
Mengenai perbedaan data yang diungkapkan, Ombudsman pun meminta agar Kemenag berkoordinasi terkait data jamaah pada instansi terkait, dalam hal ini, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
“Berkoordinasilah dengan PTSP, karena secara data tidak sinkron satu sama lain,” tutupnya.