Hidayatullah.com–Sebanyak 14 orang perempuan dari berbagai usia dan latar belakang mendirikan sebuah desa di Kenya. Uniknya, desa tersebut dikhususkan untuk kaum perempuan saja dan mendengungkan semboyan, “go to hell for men” (kaum lelaki pergi ke neraka saja). Wah…
Diberitakan oleh situs berita al-Arabiyyah (19/8), para perempuan tersebut adalah pihak yang menolak untuk melakukan nikah paksa yang dituntut oleh keluarga mereka, sunat (yang telah menjadi adat turun temurun di Afrika), pernah mengalami trauma akibat kekerasan dalam rumah tangga, dan korban pelecehan serta perkosaan.
Desa tersebut dinamakan Omoja, yang dalam bahasa Swahili (rumpun bahasa Afrika Hitam) berarti ‘persatuan’, dan terletak sekitar 350 km di arah barat ibu kota Kenya, Nairobi.
Najusi Lokimo, salah satu penghuni desa khusus perempuan itu, mengisahkan, dirinya lari dan kabur dari rumah keluarga dan desanya di pertengahan tahun 90-an silam, setelah mengalami upaya pelecehan dari tiga orang tentara Inggris yang ditugaskan PBB di wilayah itu.
“Aku ceritakan kisah tragis itu kepada suamiku. Berharap aku dapat dukungan dari dirinya, ia malah memukulku. Aku kecewa dan lebih baik memutuskan untuk kabur,” kisah Likomo.
Setelah kabur dari rumah dan desanya, Likomo hidup sebatang kara, menjelajahi alam Afrika yang ganas. “Aku lewati 90 hari sendirian menerabasi padang pasir yang ganas, sendirian saja, tanpa makan dan bekal,” kisahnya.
Akhirnya, sampailah Likomo di sebuah kampung. Di sana ia menemukan beberapa perempuan yang mengalami nasib KDRT. Bersama mereka pula, Likomo berusaha hidup mandiri, dengan berjualan sayur mayur.
“Namun orang-orang tak mau membeli sayuran yang kami jajakan,” tambahnya.
Likomo pun kian banyak bertemu dengan para perempuan yang mengalami nasib serupa, meskipun jalan kasusnya berbeda. Mereka pun sepakat mendirikan perkumpulan dan organisasi perempuan, bahkan mendesak pihak pemerintahan meloloskan permintaan mereka yang hendak mendirikan desa khusus perempuan.
“Akhirnya, upaya kami tak sia-sia. Kami mendapat izin. Kami harus mendapatkan hak-hak hidup kami, agar hidup bisa lebih baik,” demikian dikatakan Rebecca Lolosoli, satu-satunya wanita di desa itu yang mampu berbahasa Inggris dengan baik.
Kini, wanita-wanita itu berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan membuat kerajinan tangan khas Kenya, dan dijajakan ke turis-turis asing. [atj/arb/hidayatullah.com]