Hidayatullah.com–Mantan penasehat Dewan Syura Arab Saudi, Dr. Umayma Ahmad Al-Jalahma mengatakan bahwa Islam mendukung wanita untuk bekerja. Dan tidak ada alasan bagi wanita untuk tidak (boleh) bekerja.
“Tidak ada dalam Islam yang mengatakan bahwa (wanita) bekerja itu dilarang,” katanya. “Allah memberikan hak kepada kita untuk bekerja, untuk mencari nafkah, dan mengembangkan keterampilan kita.” Demikian disampaikan oleh Al-Jalahma dalam pidatonya “Hak Wanita di Tempat Kerja” di depan sekelompok wanita yang berkumpul di Asharqia Businesswomen’s Center, Arab Saudi, Minggu (31/8).
Ia menekankan bahwa wanita harus sadar akan hak-haknya, dan bekerja adalah salah satu hak mereka.
“Jika seorang wanita ingin bekerja, maka ia harus diperbolehkan. Ia harus diperbolehkan untuk menyampaikan kepada suaminya, bahwa ia tidak ingin hanya duduk diam di rumah saja,” katanya.
Sebagian pria dan sebagian wanita mengingkari adanya hak bagi wanita untuk bekerja, dan ini merupakan hasil dari ketidakpedulian atau akibat dari terlalu kuat memegang tradisi.”
Namun demikian, menurut Al-Jalahma, tidak seperti masyarakat Barat, pondasi dari masyarakat, menurut Islam, adalah keluarga, bukan individu. “Ibu memainkan peran penting dalam masyarakat kita, bagi putra dan putrinya. Ibu yang bekerja berarti memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan itu harus dihargai. Menjadi ibu rumah tangga juga merupakan sebuah profesi,” katanya.
Ia mengatakan bahwa wanita pekerja di Barat tidak dihargai sebagaimana mestinya. Dan menjadikan individu sebagai inti dari masyarakat, hanya akan menciptakan pertarungan terus menerus antara laki-laki dan perempuan.
“Hingga saat ini, wanita di Barat terus menuntut agar mendapat upah yang sama dengan pekerja laki-laki,” katanya. “Alasannya, wanita juga bisa memulai hidup berumahtangga, bisa cuti, dan juga mungkin melakukan pekerjaan yang sama dengan pria, tapi mereka masih saja dibayar lebih murah.”
Hal seperti itu, menurutnya, merusak sifat perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan, dan bisa menghancurkan keluarga. “Wanita Barat dituntut berubah ‘menjadi pria’ jika mereka ingin dihargai,” katanya, “dan keluarga tidak lagi terdiri dari ibu, ayah dan anak, melainkan terdiri dari seorang wanita, seorang pria, dan anggota keluarga lainnya.”
Namun, tidak semua ide dari Barat harus ditolak. “Kita perlu mengevaluasi semua ide yang ada dan harus terbuka terhadap pandangan-pandangan baru,” katanya. “Menolak sesuatu semata karena ia berasal dari Barat adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam.”
Ia mengatakan bahwa pria juga mempunyai peranannya sendiri. “Para pria memiliki tanggung jawab atas wanita dalam kehidupannya, dan para wanita harus menghormati hal itu, tapi itu hanya terhadap seorang laki-laki dalam hidupnya–suami atau ayahnya, bukan terhadap semua pria. Dan itu bukan berarti kepatuhan mutlak kepada mereka.”
“Para pria harus mendukung pasangan mereka, itu salah satu bentuk memanjakan wanita,” katanya. “Pria bisa ikut membantu di dapur, itu bukan hal yang memalukan.”
Al-Jalahma juga menyinggung pernyataan bahwa Islam tidak memperlakukan pria dan wanita secara sama. “Perlakuan yang sama mutlak untuk dua kelompok yang mempunyai sifat yang sama adalah adil. Tapi jika kelompok itu berbeda, maka tidak demikian,” katanya. “Jika kesetaraan absolut itu dimungkinkan, maka berarti laki-laki juga harus bisa menyusui.”
Di atas persamaan, katanya, Islam mengakui keadilan. “Islam sangat memahami perbedaan antara pria dan wanita, dan menuntut agar berbuat jujur dan adil. Kita tidak selamanya bisa sama dan menuntut peran yang sama. Wanita dan pria saling melengkapi, dan kita harus bekerjasama, bahu membahu untuk kepentingan keluarga dan masyarakat.”
Para wanita juga mempunyai kewajiban untuk menyampaikan masalah ini kepada generasi yang akan datang. “Memang benar, masyarakat kita didominasi oleh pria. Tapi siapa yang membuatnya seperti itu?” tanyanya. “Itu bukan kesalahan mereka para pria. Semuanya berawal dari rumah,” pungkas Al-Jalahma. [di/an/hidayatullah.com]