Hidayatullah.com–Wakil rakyat di parlemen Meksiko yang beraliran kiri, sedang mempelajari usulan izin nikah sementara yang akan berakhir setelah dua tahun jika pasangan suami-istri menghendaki.
Usulan itu diajukan dengan harapan dapat mengurangi ongkos birokrasi dan proses perceraian yang melelahkan.
Sebagian kalangan memandang inisiatf tersebut sebagai alternatif yang pragmatis. Sementara lainnya, termasuk Gereja Katolik Roma, melihatnya sebagai ancaman terhadap nilai-nilai keluarga.
Meksiko adalah negara dengan jumlah pemeluk Kristen Katolik terbanyak kedua di dunia.
“Sentralitas keluarga di Meksiko berubah,” kata Norma Ojeda, seorang sosiolog dari Universitas Negeri San Diego yang mempelajari evolusi perkawinan di Meksiko sejak tahun 1970-an, sebagaimana dikutip Christian Science Monitor (02/11/2011).
“Perubahan itu merupakan bagian dari perubahan sosial global yang terjadi di banyak negara,” katanya.
Bagi para penggagasnya, usulan tersebut merefleksikan perubahan sosial di ibukota Mexico City, di mana kebanyakan perceraian terjadi pada dua tahun pertama usia pernikahan.
Jika usulan tersebut diloloskan dan menjadi bagian dari peraturan negara, maka setelah dua tahun menikah pasangan suami-istri dapat memilih, apakah akan memperpanjang ikatan tali perkawinan mereka hingga maut memisahkan. Atau sebaliknya, segera mengakhiri perkawinan yang baru berusia dua tahun itu. Jika memilih bercerai, maka masalah anak dan harta otomatis diatur sesuai dengan ketentuan yang ada.
“Ketika masa dua tahun berakhir, jika perkawinan tidak mulus atau harmonis, kontraknya otomatis berakhir,” kata Leonel Luna, anggota parlemen yang ikut merancang peraturan itu kepada Reuters.
“Anda tidak perlu melalui proses perceraian yang menyiksa,” imbuhnya.
Menguntungkan
Bagi Luis Arturo Valero, seorang pria yang pernah dua kali bercerai, usulan kawin kontrak dua tahun itu menguntungkan. Setidaknya sebagai cara untuk menghindari “takdir buruk”.
“Menurut saya itu usulan bagus, sebagai masa percobaan untuk saling mengenal lebih jauh satu sama lain,” katanya. Terlebih, di Meksiko hidup satu atap tanpa ikatan perkawinan alias kumpul kebo masih dianggap tabu.
Angka perceraian di Meksiko cukup tinggi, terutama di daerah perkotaan. Proses cerai tidak jarang sangat alot dan menimbulkan konflik keluarga.
“Kami lebih memilih adanya perjanjian pra-nikah,” kata Alejandro Heredia Avila, dari Persatuan Orangtua Meksiko dari Keluarga yang Berpisah, yang memperjuangkan hak untuk menjenguk anak bagi pasangan yang bercerai.
Gereja “Keok”
Gereja Katolik sebagai pengawal moral penganut ajaran Kristen mengecam keras usulan itu. Gereja melihat inisiatif kawin kontrak tersebut sebagai ancaman terhadap nilai-nilai keluarga.
Tapi entah apakah otoritas gereja di Meksiko dapat mempertahankan nilai-nilai moral mereka, karena sebelumnya telah beberapa kali kalah mengawal kesakralan lembaga perkawinan.
Pada tahun 2009, ibukota Meksiko menjadi kota pertama di Amerika Latin yang melegalkan perkawinan sesama jenis.
Di bawah kepemimpinan Walikota Marcelo Ebrard, kota itu juga melegalkan aborsi.
Walikota Ebrard sendiri menikah tiga kali. Padahal menurut ajaran Katolik, perkawinan bagi pengikutnya hanya sekali untuk selamanya.*