Hidayatullah.com—Ribuan orang di Quebec Sabtu siang (14/9/2013) turun ke jalan menentang rencana larangan penggunaan pakaian dan asesoris keagamaan oleh para pegawai negeri dan meminta agar Menteri Pertama Quebec Pauline Marois mengakhiri “politik perpecahan.”
Partai di lembaga legislatif Provinsi Quebec, Parti Quebecois (PQ), awal pekan lalu mengajukan usulan berupa larangan penggunaan simbol-simbol keagamaan –termasuk hijab, turban, yarmulke atau kippah (topi Yahudi) dan salib berukuran di atas rata-rata– oleh para pegawai publik.
Jajak pendapat menunjukkan sebagian warga Quebec mendukung larangan tersebut, terutama di daerah-daerah terpencil. Sementara para penentangnya menyebut larangan itu bersifat diskriminatif.
Unjuk rasa diikuti kebanyakan oleh kaum Muslim dan penganut Sikh. Lainnya berasal dari berbagai kelompok, termasuk mereka yang mengaku tidak beragama.
“Ini waktunya bagi semua agama untuk datang bersama demi apa yang mereka yakini,” kata Norman Safdar, seorang insinyur berusia 24 tahun.
“Kami datang ke sini untuk kebebasan,” kata Safdar yang berasal dari Pakistan dan mengenakan peci Muslim, lansir media Kanada The Star.
PQ berpendapat, larangan penggunaan simbol agama diperlukan guna memastikan pegawai publik menunjukkan wajah netral dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Para pengunjuk rasa memulai aksinya di lapangan pusat kota Quebec. Mereka mengecam Pauline Marois, tokoh PQ dan juga menteri pertama (kepala pemerintahan) Provinsi Quebec. Marois merupakan pendukung model integrasi sekuler di negara itu, yang juga melarang penggunaan hijab di sekolah-sekolah.
Pengunjuk rasa membawa sejumlah tulisan protes, antara lain “Quebec bukan Prancis”.
Quebec merupakan provinsi di Kanada dengan penduduk mayoritas berbahasa Prancis, yang juga merupakan negara Eropa yang memberlakukan larangan hijab.
Harbhajan Singh, warga Sikh berusia 60 tahun pengguna turban, menyatakan kekecewaannya terhadap larangan yang akan membatasi umat beragama. “Selama ini kami sudah tinggal di sini dengan sangat damai, tanpa ada masalah,” kata Singh yang pindah dari India ke Kanada 40 tahun lalu.
Meskipun umat Yahudi mengaku menentang rencana larangan penggunaan simbol keagamaan itu, namun mereka tidak mau ikut serta dalam unjuk rasa tersebut. Selain beralasan acaranya bertepatan dengan hari suci Yom Kippur, Centre for Israel and Jewish Affairs juga mengaku tidak ingin aksinya dikaitkan dengan kelompok lain yaitu Quebec Collective Against Islamophobia.
Perdana Menteri Kanada Stephen Harper yang dimintai pendapatnya mengenai usulan PQ itu mengatakan, menurutnya usulan tersebut tidak akan ke mana-mana dan warga Quebec dapat menelurkan kesimpulan yang masuk akal seiring dengan perdebatan yang terus berlangsung.
Harper juga mengingatkan bahwa tidak ada satu pun dari tiga partai lain di parlemen Quebec yang mendukung usulan PQ tersebut.
Pernyataan Harper itu dikemukakan hari Senin (16/9/2013), setelah Journal de Montreal merilis hasil survei tentang rencana larangan penggunaan simbol keagamaan bagi pegawai negeri.
Hasil jajak pendapat itu menunjukkan, 43 persen dari 2.000 responden di seluruh Quebec menyatakan mendukung, dan 42 persen menyatakan menentang. Jajak pendapat itu dilakukan oleh perusahaan Leger Marketing pada Jumat dan Sabtu pekan kemarin. Pendukung terbanyak berasal dari warga selatan dan utara Montreal, termasuk Laval, Longueuil dan barat Quebec, serta Gatineau. Para penentangnya kebanyakan merupakan warga di kota-kota besar seperti Montreal dan Quebec City, ibukota Provinsi Quebec.*