Hidayatullah.com—Gambia memutuskan untuk keluar dari Commonwealth (Persemakmuran), kumpulan 54 negara yang pernah menjadi koloni atau jajahan Inggris, dengan mengatakan tidak ingin menjadi anggota dari sebuah institusi “neo-kolonialisme”.
Pengumuman mengejutkan itu diutarakan negara Arfika Barat tersebut lewat stasiun televisi milik pemerintah. Tidak jelas alasan pengunduran diri Gambia dari Commonwealth, yang dipimpin oleh Ratu Inggris tersebut.
“Pemerintah telah menarik keanggotaannya dari Persemakmuran Inggris dan memutuskan bahwa Gambia tidak akan pernah menjadi anggota dari institusi neo-kolonial apapun dan tidak akan pernah menjadi bagian dari institusi yang menjadi kepanjangan kolonialisme,” bunyi pernyataan Gambia dikutip Guardian Kamis (3/10/2013).
Menanggapi hal itu seorang jurubicara kantor Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan, “Keputusan keanggotaan dalam Persemakmuran merupakan masalah dari setiap pemerintah anggotanya. Kami akan sangat menyesalkan Gambia atau negara lain yang memutuskan keluar dari Persemakmuran.”
Gambia bergabung dalam Persemakmuran pada tahun 1965, ketika mendapatkan kemerdekaan dari Inggris. Meskipun masih menjadi negara tujuan wisata bagi warga Inggris dan negara lain, Gambia sudah sejak lama terbelit masalah politik dengan Inggris.
Inggris mengecam pemerintahan Presiden Yahya Jammeh, seorang Muslim dan berkuasa sejak 1994, yang dinilai tidak menghormati hak-hak asasi manusia selama berkuasa di Gambia.
Presiden Jammeh merupakan seorang penentang homoseksualisme yang sangat vokal. Sementara Inggris menekan negara-negara Afrika agar menerima homoseksualisme dengan mengancam akan menghentikan bantuan finansial kepada pemerintah-pemerintah di benua hitam tersebut.
Inggris juga mengecam eksekusi mati atas 9 orang tahanan –salah satunya wanita– tanpa pemberitahuan oleh aparat Gambia.
Negara Gambia menerima bantuan finansial sebesar 8 juta pound dari Inggris setiap tahun melalui donasi untuk berbagai lembaga.*