Hidayatullah.com–Sedikitnya 26 orang tewas akibat bentrokan antara warga Sunni dan Syiah di wilayah selatan Yaman sepekan setelah kelompok pemberontak Al-Hautsi (Al Houthi) yang menganut Syiah mengambil alih kekuasaan politik negara itu.
Sementara itu, pimpinan sejumlah negara Arab di kawasan Teluk telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengizinkan penggunaan kekuatan militer di Yaman untuk menyelesaikan krisis politik di negara itu.
Ini adalah hari kedua unjuk rasa berskala nasional menentang aksi politik kelompok pemberontak Hautsi yang telah membubarkan parlemen dan membentuk dewan yang bertindak seperti presiden.
Amerika Serikat, Prancis, Turki dan sejumlah negara Arab telah menarik Duta besarnya dari Yaman menyusul krisis politik di negara tersebut. [Baca: Ikuti Amerika, Prancis Desak Warganya Tinggalkan Yaman]
Pimpinan negara-negara Arab mengkhawatirkan krisis politik di Yaman dan telah meminta agar dunia internasional untuk terlibat.
Seorang petugas medis kepada Kantor berita Reuters dikutip BBC hari Ahad mengatakan, kelompok pemberontak Hautsi yang bersenjata menembak pengunjukrasa di pusat Kota Ibb, yang menyebabkan empat orang terluka.
Seperti diketahui, pemicu unjuk rasa anti kelompok Hautsi ini dilatari kematian seorang tokoh, Saleh al-Bashiri, setelah dia ditangkap oleh kelompok bersenjata di Kota Sana’a sekitar dua pekan lalu, kata para aktivis.
Negara-negara Arab mengkhawatirkan perkembangan politik di Yaman yang dapat berubah menjadi krisis politik.
Dia kemudian dibebaskan dan kemudian dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi terluka diduga akibat penyiksaan. Sejauh ini belum ada komentar dari Kelompok Hautsi.
Para penentang kelompok Hautsi menuduh Iran berada di balik upaya pengambilalihan kekuasaan politik di Yaman.
AS dan PBB sebelumnya telah memprihatinkan terhadap pengambilalihan kekuasaan politik di Yaman.
Tindakan politik kelompok Hautsi itu dianggap AS “tidak memenuhi standar solusi berbasis konsensus”.*