Hidayatullah.com–Kabar angin tentang ditutupnya kasus Mavi Marmara itu berhenti seketika kemarin pagi (19 Oktober 2016) di “Ruang Sidang Kejahatan Berat” (Agir Ceza Mahkemesi Durusma Salonu) Gedung Pengadilan Tinggi Istanbul. Takbir diteriakkan berkali-kali di ruang berkapasitas 250-an orang yang membludak itu.
Tiga hakim laki-laki bertoga hitam, berkerah merah, segera meninggalkan ruangan setelah mengumumkan, “Sidang kasus Mavi Marmara akan dilanjutkan pada jam 10 pagi tanggal 2 Desember 2016.” Sebuah usaha untuk menghentikan proses hukum yang mungkin akan menyeret jenderal-jenderal Zionis Israel ke penjara, berhasil digagalkan.
Bagi keluarga Syuhada dan para relawan, ini kabar gembira yang berlawanan dengan kabar angin yang berembus kuat sejak beberapa minggu terakhir, bahwa kasus ini akan ditutup.
Alasan utama kabar angin itu ialah terjadinya normalisasi hubungan antara Turki dan Israel, serta telah dibayarkannya US$ 20 juta dolar uang kompensasi untuk keluarga Syuhada oleh pemerintah Zionis Israel kepada pemerintah Turki.
Mavi Marmara salah satu dari enam kapal kemanusiaan yang pada tanggal 31 Mei 2010 membawa lebih dari 600 relawan dari 32 negara, berusaha menembus pengepungan Zionis Israel atas Jalur Gaza, membawa sekitar 10 ribu ton bantuan.
Di perairan internasional di Laut Mediterania, Mavi Marmara dan lima kapal lain yang menamakan diri Freedom Flotilla (Armada Kemerdekaan) diserang, ditembaki, dan dibajak oleh segerombolan Zionis Israel bersenjata. Sepuluh orang relawan tewas akibat serangan itu, lebih dari 150 orang lainnya luka-luka.
Sejak itu hubungan Turki-Israel memburuk. Kedua negara saling menarik duta besarnya. Sudah 13 kali pengadilan digelar di Istanbul, demi menyeret empat orang jenderal Zionis Israel yang terlibat penyerangan itu ke penjara. Pengadilan-pengadilan juga digelar di beberapa negara yang relawannya ikut diserang dan disekap di Mavi Marmara, seperti Afrika Selatan, Spanyol dan Yunani.
Akibat proses hukum yang dilakukan itu, INTERPOL telah mengeluarkan surat perintah penangkapan empat jenderal penjajah Zionis Israel: yaitu Raul Gabiel Ashkenazi, Kepala Angkatan Bersenjata Zionis Israel waktu kejadian Mavi Marmara; Eliezer Alfred Maron, Panglima Angkatan Laut Zionis Israel; Avishay Levi, Kepala Intelijen Angkatan Udara; dan Amos Yadlin, Kepala Intelijen Zionis Israel.
Perdana Menteri Turki yang sekarang menjabat Presiden Recep Tayyip Erdogan, memberi syarat berat kepada Israel jika hubungan diperbaiki: diantaranya bebaskan Jalur Gaza dari kepungan.
Namun, lima tahun yang penuh ketegangan itu tiba-tiba mencair saat pemerintah Turki memutuskan untuk menerima permintaan maaf Perdana Menteri Zionis Israel Benyamin Netanyahu, serta uang kompensasinya. “Tetapi kami tidak bisa memaksa para keluarga Syuhada untuk menerima uang itu,” tegas Presiden Erdogan suatu ketika.
“Sampai hari ini, pemerintah Turki belum melakukan apapun terhadap uang itu, dan seluruh keluarga Syuhada Mavi Marmara menyatakan menolak uang itu,” jelas Gulden Sonmez, ketua tim pengacara IHH organisasi kemanusiaan yang memberangkatkan kapal Mavi Marmara.*