Hidayatullah.com–”Sebuah “organisasi kuat”terdiri dari 50 orang dari Rusia, Serbia dan Montenegro berencana membunuh Perdana Menteri Milo Djukanovic dan menempatkan seorang tokoh oposisi pro-Kremlin di kursi kekuasaan, kata Milivoje Katnic, jaksa khusus kasus kejahatan terorganisir, hari Ahad (6/11/2016) seperti dilansir Deutsche Welle.
Bulan lalu, polisi dari bekas negara pecahan Yugoslavia itu menangkap 20 warganegara Serbia, termasuk seorang pensiunan perwira tinggi polisi, saat pemilu legislatif digelar. Mereka dituduh berencana melakukan serangan bersenjata atas institusi-institusi negara Montenegro.
“Pihak yang mengorganisir kelompok kriminal itu adalah orang berkebangsaan Rusia, yang berpikir dan menyimpulkan bahwa pemerintahan di Montenegro yang dipimpin oleh Milo Dhukanovic tidak dapat diubah lewat pemilu dan oleh karenanya harus ditumbangkan secara paksa,” kata Katnic.
Jaksa itu mengatakan penyelidikan yang dilakukannya bekerja sama dengan pihak berwenang Serbia, seraya menambahkan bahwa sebuah partai oposisi -yang tidak disebutkan namanya- diyakini terlibat dalam perencanaan makar itu.
Namun, Katnic menegaskan bahwa pihak berwenang tidak memiliki informasi tentang keterkaitan langsung Moskow dengan rencana pembunuhan PM Djukanovic tersebut.
“Kami tidak memiliki bukti bahwa negara Rusia terlibat dalam artian apapun … namun kami memiliki bukti bahwa dua orang warga Rusia itu terorganisir,” paparnya.
Dalam pemilihan umum bulan Oktober kemarin, partai politik Djukanovic
menang besar, tetapi belum cukup untuk menjadi mayoritas di parlemen.
PM Djukanovic menyebut pemilu itu sebagai kesempatan bagi rakyat Montenegro untuk mendukung kebijakannya yang berusaha mengeratkan hubungan dengan Uni Eropa dan memasukkan Montenegro ke NATO.
Aliansi transatlantik itu sudah mengundang bekas negara pecahan Yugoslavia itu bergabung dengan organisasinya.
Akan tetapi, kelompok-kelompok pro-Rusia di Montenegro menentang keras keanggotaan negaranya di NATO.
Jika Montenegro bergabung dengan NATO, maka Rusia akan kehilangan akses strategis ke Laut Adriatik, dan hanya meninggalkan Serbia sebagai satu-satunya sekutu tradisional Moskow di kawasan itu.*