Hidayatullah.com—Perusahaan-perusahaan online yang tidak menghapus konten kriminal dapat diganjar dengan denda selangit di Jerman. RUU usulan Menteri Kehakiman Heiko Maas itu, jika diloloskan, akan menjadi prestasi tersendiri dalam menanggulangi masalah penyebaran pesan kebencian yang belakangan ini semakin marak di Eropa.
Menjelang rapat kabinet hari Rabu (5/4/2017) guna menanggulangi masalah tersebut, Menkeh Heiko Maas mengulangi lagi peringatan bahwa perusahaan-perusahaan online yang tidak menghapus sendiri konten kriminal terancam denda hingga 50 juta euro ($53 juta), lansir Deutsche Welle.
“Kami tidak terima dengan fakta bahwa perusahaan-perusahaan di Jerman tidak mematuhi hukum yang ada. Oleh karena itu di masa mendatang, jika hal itu tidak berubah menjadi lebih baik, kami akan menjatuhkan denda tinggi terhadap perusahaan-perusahaan tersebut,” kata politisi dari Partai Sosial Demokrat (SPD) itu dalam acara pagi Morgenmagazin di ARD.
Survei terbaru oleh Kementerian Kehakiman menunjukkan bahwa hanya sekitar satu persen atau “nyaris nihil” konten kriminal yang diunggah pengguna dihapus dari server oleh pihak pengelola Twitter. Sementara Facebook menghapus sekitar 50 persen dan YouTube 90 persen dari konten sejenis.
Menanggapi pernyataan Mass tersebut, pakar hukum dari Partai Hijau, Renate Künast, mengkritik usulan RUU itu yang dinilainya beresiko membatasi kebebasan berbicara.
“Ketakutan saya, dan juga banyak orang lain, pada akhirnya versi yang diusulkan ini akan membatasi kebebasan berpendapat karena nantinya itu akan dihapus, dihapus, dihapus,” kata politisi wanita itu.
“Pada prinsipnya, usulan Maas itu tidak salah,” imbuh Künast. Namun, dalam bentuknya yang sekarang RUU itu adalah hasil kerja tergesa-gesa. Usulan denda tinggi terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhinya merupakan “hampir seperti undangan untuk tidak hanya menghapus [konten] hinaan, tetapi semuanya dengan alasan keamanan,” imbuhnya.
Usulan dari Menkeh Heiko Maas itu merupakan upaya terbaru yang dilakukan pemerintah Jerman guna menanggulangi penyebaran pesan atau ujaran kebencian melalui dunia maya.
Bulan lalu kementerian mengumumkan rencana pembuatan undang-undang baru yang akan memaksa pengelola situs jejaring sosial membuat laporan akuntabilitas triwulanan. Laporan itu harus memuat tentang berapa jumlah dan kualifikkasi pekerja yang bertugas menghapus dan memblokir konten-konten yang melanggar peraturan tentang ujaran kebencian dan fitnah. Kebijakan itu juga akan mengharuskan jejaring sosial memberikan kemudahan kepada penggunanya untuk mengidentifikasi dan melaporkan konten-konten yang merugikan diri mereka, seperti konten fitnah, menjelek-jelekkan pribadinya, penistaan, ajakan atau dorongan untuk melakukan kejahatan, ujaran kebencian terhadap kelompok sosial tertentu, serta ancaman.
Apabila usulan RUU tersebut nantinya direstui dan menjadi undang-undang, maka Jerman akan menjadi negara Eropa pertama yang memiliki pedoman legal yang jelas untuk kasus ujaran kebencian di internet.*