Hidayatullah.com–Pemerintah di sebuah daerah di Xinjiang, China, melarang Muslim di wilayah itu menggunakan bahasa ibu mereka di sekolah.
Langkah itu diumumkan Departemen Pendidikan di provinsi Hotan melalui pemberitahuan di situs webnya, sebagaimana dikutip Radio Free Asia (RFA), awal pekan ini.
Departemen Pendidikan China mengeluarkan lima butir arahan yang isinya dengan tegas melarang penggunaan bahasa, tulisan, tanda-tanda, atau gambar yang menggunakan bahasa Uighur.
Sekolah harus “bersikeras untuk secara penuh mempopulerkan bahasa umum dan sistem penulisan nasional sesuai hukum, dan menambahkan pendidikan bahasa etnis berdasarkan prinsip dasar pendidikan bilingual”, lapor RFA.
Peraturan baru ini akan mulai diterapkan pada semester baru tahun ini. Menurut pemberitahuan terkait, penggunaan bahasa Uighur dilarang dari tingkat prasekolah sampai ke sekolah menengah dengan alasan untuk mempopulerkan sepenuhnya bahasa Mandarin yang menjadi bahasa nasional China.
Semua papan tanda dikawasan sekolah juga tidak bisa menggunakan bahasa penduduk lokal.
Langkah itu merupakan salah satu penindasan terbaru otoritas komunis China terhadap Muslim di wilayah bersangkutan setelah mereka dilarang berpuasa sejak beberapa tahun lalu dan dilarang melakukan sesuatu yang ada hubungannya dengan Islam, termasuk memelihara jenggot, melarang nama-nama Muslim dan melarang puasa bagi pegawai negeri sipil.
Meskipun pemerintah China mengklaim mengakui 56 etnis minoritas yang berbeda – termasuk orang-orang Uighur – di negara ini, faktanya mereka terus berusaha menindak umat Islam dan terus menciptakan masyarakat homogen di bawah komunisme.
Larangan penggunaan bahasa lokal itu akan berlaku bulan depan, bersamaan dengan semester baru sekolah.
Seorang pejabat mengatakan, buku teks berbahasa Uighur akan diganti dengan buku teks berbahasa Mandarin.
Perkembangan itu disahkan oleh Kongres Uighur Dunia yang mengatakan, larangan itu untuk saat ini akan diberlakukan di daerah Hotan saja. Kedepan tidak menutup kemungkinan ia akan diberlakukan di seluruh Xinjiang yang mayoritas penduduknya keturunan Uighur dan beragama Islam.
Padahal sebelumnya, dalam Pasal 4 UUD China disebutkan “Semua orang bebas menggunakan dan mengembangkan bahasa dan tulisan, untuk melestarikan kebiasaan’. Sedangkan pada Pasal 121, ‘Pemerintah daerah di China harus membudayakan berbahasa dan menulis dalam bahasa biasa digunakan di daerah itu’.
Anjuran ini dipertegas dalam Aturan Hukum Berbahasa pada Wilayah Otonomi Etnis di China, dalam pasal 10 beleid itu disebutkan ‘Pemerintah menjamin kebebasan warga di daerah itu berbicara dan menulis menggunakan bahasa mereka, buat melestarikan tradisi dan kebiasaan’.
Meski ada embel-embel ‘memperkuat program dwi bahasa’ dalam sekolah, penerapaan kebijakan baru oleh pemerintah China berniat membunuh bahasa Uighur dari dalam buaian. Ini termasuk genosida budaya.
“Masyarakat internasional tidak boleh membiarkan China menghancurkan bahasa dan budaya kita yang indah, yang telah berkembang selama ribuan tahun,” ujar Presiden Asosiasi Uighur Amerika Serikat, Ilshat Hasan dikutip laman theindependent.*