Hidayatullah.com—Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan hari Senin (23/10/2017), sedang mengambil langkah dan mempertimbangkan tindakan lebih lanjut atas perlakuan Myanmar terhadap masyarakat etnis minoritas Muslim Rohingya termasuk memberlakukan Undang-undang Global Magnitsky.
“Kami menyampaikan rasa prihatin yang sedalam-dalamnya atas kekerasan serta pelanggaran traumatis yang dialami Rohingya dan masyarakat lain,” kata Departemen Luar Negeri Amerika dalam pernyataannya. Ditambahkan bahwa “adalah wajar tiap individu atau entitas yang bertanggung jawab atas semua kekejaman termasuk pelaku non-negara dan barisan swakarsa dimintai pertanggungjawaban atas mereka.”
Departemen Luar Negeri Amerika membuat pernyataan menjelang kunjungan perdana Presiden Donald Trump ke kawasan Asia Tenggara awal bulan depan untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi negara-negara ASEAN, termasuk Myanmar, yang akan diselenggarakan di Manila, tulis Voice of America.
“Dunia tidak bisa hanya diam saja dan menjadi saksi kekejaman yang dilaporkan terjadi di wilayah tersebut,” kata Sekretaris Negera AS, Rex Tillerson kepada think tank Pusat Studi Strategis dan Internasional Washington.
“Kami benar-benar berpendapat kepemimpinan militer Myanmar bertanggung jawab atas apa yang terjadi,” sambung Tillerson seperti dikutip dari Reuters, Kamis (19/10/2017)
Pernyataan ini adalah respon Amerika terkeras sejauh ini atas krisis Rohingya yang sudah berlangsung berbulan-bulan, namun pemerintah Amerika tidak merinci tindakan apa yang bisa diambil misalnya memberlakukan kembali sanksi ekonomi luas yang telah dihentikan pada pemerintahan Obama.
Namun empat puluh tiga anggota parlemen AS mendesak pemerintah Trump untuk mengajukan kembali larangan perjalanan kepada para pemimpin militer Myanmar. Mereka juga meminta AS menyiapkan sanksi yang ditargetkan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas aksi kekerasan tersebut.
“Pemerintah Myanmar tampaknya menolak apa yang telah terjadi dan meminta Washington untuk mengambil langkah-langkah yang berarti terhadap orang-orang yang telah melakukan hak asasi manusia penyalahgunaan,” bunyi permintaan tersebut, dalam sebuah surat kepada Tillerson dari anggota DPR Republik dan Demokrat.*