Hidayatullah.com—Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menolak seruan mundur dari oposisi pada Rabu malam (27/2/2019), setelah mantan menteri kehakimannya mengatakan kepada parlemen bahwa para pejabat di sekitar Trudeau ditekan untuk tidak menggugat hukum sebuah perusahaan raksasa berbasis di Montreal yang dituduh melakukan tindak korupsi.
Mantan menteri Jody Wilson-Raybould mengatakan kepada anggota dewan House of Commons bahwa dirinya mendapatkan tekanan terus menerus oleh banyak orang di pemerintahan agar mengupayakan interfensi politik guna menghindari gugatan hukum terhadap SNC-Lavalin. Wanita mantan jaksa agung itu mengatakan bahwa dirinya antara lain mendapat tekanan kuat dari Michael Wernick, salah satu pejabat tinggi pemerintah Kanada.
Menanggapi seruan mundur dari oposisi, Trudeau mengatakan bahwa dia “sama sekali tidak sepakat dengan mantan jaksa agung itu dalam penggambaran kejadiannya.”
SNC-Lavalin pertama kali didakwa melakukan korupsi pada 2015, yang mana jaksa mengatakan perusahaan tersebut melakukan pembayaran 130 juta dolar Kanada kepada rezim mendiang Muammar Qadhafi agar mendapatkan kontrak besar dari pemerintah Libya. Kontrak itu termasuk Proyek Raksasa Sungai Buatan Manusia, sistem irigasi terbesar yang pernah dibangun dalam sejarah manusia, lansir DW Kamis (28/2/2019).
SNC-Lavalin melakukan lobi besar-besaran terhadap pemerintah guna menuntaskan perkara korupsi itu di luar pengadilan. SNC-Lavalin berulang kali mengklaim bahwa orang-orang yang terlibat dalam skandal itu sudah hengkang dari perusahaan tersebut.
Ketua partai oposisi Andrew Scheer mengatakan bahwa PM Trudeau harus mengundurkan diri dari jabatannya terkait skandal tersebut. Dia mengatakan bahwa Trudeau “tidak lagi dalam posisi berdiri yang baik dengan pikiran yang jernih dalam memimpin negara ini.”
Trudeau menampik sifat dari perselisihan masalah tersebut dalam sebuah konferensi pers, dengan mengatakan bahwa “pemerintahan kami selalu memusatkan perhatian pada tugas,” dan bahwa pemerintahannya sekedar memperdebatkan dalam dari kasus tersebut terhadap tenaga kerja dari perusahaan raksasa berbasis di Montreal itu.*