Hidayatullah.com– Telah sekian lama kawasan Baitul Maqdis atau Palestina dijajah oleh Zionis Israel. Namun tahukah Anda bahwa saat ini ada yang lebih berbahaya daripada penjajahan kawasan?
Itulah penjajahan terhadap akal atau ilmu. Sebab penjajahan model ini bisa melahirkan “generasi Zionis” di tengah umat Islam.
“Mereka lebih Zionis daripada Hertzl, berlagak membela hak-hak Yahudi di Baitul Maqdis namun menegasikan hak-hak umat Islam di dalamnya. Generasi berhati Zionis ini ada di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kalangan penulis hingga pemimpin dan politisi.”
Begitulah kata Dr Khalid el-Awaisi, Direktur Eksekutif IslamicJerussalem Research Academy (ISRA), di hadapan peserta simposium tentang Baitul Maqdis di Universitas Sosial Sains Ankara (ASBU), Kamis-Jumat (10-11/10/2019).
Baca: Syeikh Ikrimah Shabri: Masjid Al-Aqsha Bagian Aqidah Kita
Acara tersebut diikuti 50-an peserta dari berbagai negara, antara lain Turki, Palestina, Mesir, Jordania, Iraq, Maroko, Malaysia, dan Indonesia. Mereka adalah para cendekiawan dan peneliti yang selama ini konsen mengkaji problematika Baitul Maqdis.
Lanjut Khalid, “Celakanya, nakbah (bencana) ilmu ini terlambat disadari umat Islam. Akibatnya, kita seringkali kehilangan prioritas atas apa yang mesti diutamakan.”
Penulis buku Mapping Islamicjerusalem: a Rediscovery of Geographical Bounderies ini mencontohkan, betapa selama ini umat Islam lebih fokus mengurusi persoalan penjajahan kawasan dan pengungsi daripada menggarap aspek keilmuan. Meski tentu saja masalah penjajahan kawasan dan pengungsi itu tak kalah pentingnya.
“Pada perang 1948, bencana ilmu ini telah merambah ke dimensi politik dan militer. Setelah pasukan Arab yang dipimpin tentara Inggris mengalami kekalahan, kita memasuki fase bencana baru, yaitu bencana pengungsian. Bencana itu menjadi pusat perhatian baru kita selama lebih dari 70 tahun,” jelas Khalid.
Doktor lulusan Universitas Aberdeen (Inggris) ini mengajak umat Islam memulai langkah baru guna memperjuangkan kemerdekaan Baitul Maqdis. Yakni dengan gerakan keilmuan.
“Kita harus belajar dari kesalahan 100 tahun terakhir, dan langkah itu dimulai dengan “revolusi ilmu”. Perkuat elemen ilmu sebagai langkah utama sehingga kita dapat menggambar dan merencanakan masa depan dengan pondasi yang kokoh,” ujarnya.
Khalid dan para peneliti ISRA kini gencar melaksanakan simposium, seminar, riset, dan menerbitkan karya-karya ilmiah tentang Baitul Maqdis. Juga melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi di berbagai negara di dunia untuk membuka program studi khusus.
Seperti yang dilakukan di akhir acara simposium ini, ISRA menandatangani MoU dengan Institut Al-Aqsa untuk Riset Perdamaian (ISA), sebuah lembaga riset yang didirikan para peneliti dari Indonesia.* Abu Raiyan