Hidayatullah.com-Temuan komite pemerintah Iraq yang menyelidiki demonstrasi berdarah menemukan sebanyak 157 warga sipil tewas akibat senjata tajam yang digunakan pasukan keamanan untuk memadamkan aksi protes anti-pemerintah, lapor Reuters.
Laporan itu menyebutkan, aksi demonstrasi atas tingginya angka pengangguran, buruknya layanan publik dan korupsi yang merajalela meletus pada 1 Oktober, mendorong pihak keamanan melakukan tindakan di luar batas.
Aksi unjuk rasa lima hari pada minggu pertama Oktober 2019, menyebabkan 157 warga sipil tewas dan 4.207 lainnya terluka. 70% kematian disebabkan tembakan pada posisi kepala atau dada.
“Komite menemukan bahwa para perwira dan komandan kehilangan kendali atas pasukan mereka selama aksi protes (dan ini) menyebabkan kekacauan,” kata panel dalam laporan resmi pemerintah Iraq setebal 46 halaman ini. “Tidak ada perintah resmi dari otoritas tertinggi kepada pasukan keamanan untuk menembaki pemrotes atau menggunakan amunisi hidup sama sekali,” tambah laporan itu.
Perdana Menteri Iraq Adel Abdul Mahdi memerintahkan pemecatan terhadap 12 komandan militer dan polisi. Namun kritikus mengatakan langkah Abdul Mahdi tampaknya tidak akan bisa meredakan kemarahan publik atas korupsi yang sudah merajalela.
Keterlibatan Iran
Laporan Panel juga menemukan bukti para penembakan jitu (sniper) yang didukung Iran menargetkan pengunjuk rasa dilakukan dalam sebuah bangunan di pusat Kota Baghdad.
“Komite menemukan selama peluru investigasi lapangan dilakukan dari senapan sniper di dalam sebuah bangunan yang ditinggalkan di dekat sebuah pompa bensin di pusat kota Baghdad,” kata laporan itu.
Sumber-sumber keamanan Iraq Ā beberapa hari sebelumnya telah memberikan isyarat bahwa bahwa para pemimpin milisi yang berpihak pada Iran memutuskan sendiri untuk membantu menyungkurkan protes massa terhadap pemerintah Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi, yang kekuasaannya yang satu tahun didukung Iran dan didukung kuat kelompok bersenjata dan faksi politik.
“Kami telah mengkonfirmasi bukti bahwa penembak jitu adalah unsur-unsur milisi yang melapor langsung kepada komandan mereka, bukan komandan utama angkatan bersenjata,” kata salah satu sumber keamanan Iraq.
“Mereka milik kelompok yang sangat dekat dengan Iran,” imbuhnya seperti dikutip dari Reuters, Jumat (18/10/2019).
Sumber keamanan Iraq kedua, yang menghadiri briefing keamanan harian pemerintah, mengatakan orang-orang milisi yang mengenakan pakaian hitam menembak pengunjuk rasa pada hari ketiga kerusuhan, ketika jumlah korban tewas melonjak menjadi lebih dari 50 dari sekitar setengah lusin.
Para milisi itu diarahkan oleh Abu Zainab al-Lami, kepala keamanan untuk Hashid, sebuah kelompok paramiliter yang sebagian besar Syiah didukung oleh Iran, sumber kedua mengatakan. Pemimpin Hashid ditugaskan untuk meredam aksi protes oleh sekelompok komandan senior milisi lainnya, kata sumber itu. Sumber tidak menyebutkan berapa banyak penembak jitu yang dikerahkan oleh kelompok-kelompok milisi.
Menurut seorang diplomat, sekelompok komandan senior dari Garda Revolusi Iran melakukan perjalanan ke Irak pada hari kedua protes dan bertemu dengan pejabat intelijen dan keamanan Irak. Setelah pertemuan itu, perwira senior Garda Revolusi Iran dengan pengalaman dalam membatasi kerusuhan sipil terus memberi saran kepada pemerintah Iraq, meskipun tidak ada tentara Iran yang dikerahkan.
Seorang komandan senior dari salah satu milisi yang didukung Iran – yang mengatakan kelompoknya tidak terlibat dalam upaya untuk menghentikan protes atau kekerasan yang timbul – mengatakan Teheran berkonsultasi erat dengan pasukan yang berusaha memadamkan demonstrasi.
“Setelah dua hari, mereka terjun dan memberikan intelijen dan intelijen kepada pemerintah dan milisi,” kata pemimpin milisi itu kepada Reuters.*