Hidayatullah.com—Djibouti melaporkan tujuh kali lipat peningkatan kasus Covid-19 dalam kurun dua pekan, menurut Afrika Centres for Diseases Control and Prevention (CDC). Dengan 98,6 kasus per 100.000 orang, negara itu memiliki prevalensi tertinggi Covid-19 di Benua Afrika, yang disebabkan oleh ketidakpedulian warganya akan kebijakan kesehatan yang dibuat pemerintah untuk meredam penyebaran wabah.
“Aturan tetap tinggal di rumah tidak dipatuhi oleh semua orang, dan sayangnya banyak di antara kita yang masih menganggap remeh penyakit ini,” kata Presiden Ismail Omar Guelleh dalam pidato yang disiarkan televisi pekan ini.
“Wabah semakin parah,” kata Menteri Kesehatan Djibouti pekan lalu.
Meskipun Djibouti negara kecil, sudah 999 orang terjangkit Covid-19 dan dua orang meninggal. Negara yang lokasinya strategis di Tanduk Afrika ini hanya memiliki penduduk sekitar satu juta jiwa –di samping ribuan pasukan asing dari AS, Prancis dan China yang ditempatkan di sejumlah pangkalan militer, dan sejauh ini sudah melakukan 11.000 tes Covid-19, lapor RFI Jumat (24/4/2020).
Guelleh, presiden yang berkuasa tanpa batas akhir jabatan, dikecam karena dianggap tidak becus menangani pandemi Covid-19.
Di Balbala, dua dokter asal Mesir dipanggil kembali ke Djibouti untuk bekerja di Rumah Sakit Al-Rahma, kemudian orang yang dinyatakan positif coronavirus dipindahkan ke sebuah rumah sakit di bagian selatan negara itu, sehingga semakin banyak orang yang tertular.
Bagi sebagian rakyat kebijakan lockdown datang tiba-tiba sejak 23 Maret. Hanya pekerja di bidang usaha esensial yang boleh pergi keluar. Transportasi publik tidak dioperasikan, sekolah dan tempat ibadah ditutup, hanya toko penjual bahan kebutuhan harian yang diperbolehkan tetap buka.
Orang masih tampak berkeliaran di jalan, berbelanja di pasar-pasar yang penuh sesak di Djibouti, ibu kota yang bernama sama dengan negaranya. Laporan Agence France Presse (AFP) menyebutkan hanya sedikit orang yang mengenakan masker ketika berada di luar rumah.
Rata-rata orang Djibouti berpenghasilan kurang dari 3 euro per hari dan hampir setengah dari populasi merupakan pengangguran. Mereka yang hidup dengan pendapatan harian yang hanya cukup untuk makan, menghadapi kesulitan selama lockdown yang rencananya berlangsung sampai 28 April.
Bulan ini presiden sudah memutuskan dana darurat senilai 5,2 euro untuk membantu meringankan kesusahan orang miskin. Akan tetapi pembagiannya dikabarkan tidak adil sebab dilakukan atas dasar favoritisme.
Sebagian warga mencurigai kebijakan pemerintah yang memerintahkan penutupan masjid selama bulan Ramadhan.*