Hidayatullah.com—Facebook menolak permintaan Gambia untuk merilis unggahan maupun percakapan akun-akun milik petinggi militer dan polisi Myanmar.
Facebook pada hari Selasa (4/8/2020) mendesak Pengadilan Wilayah di Columbia, Amerika Serikat (AS) agar menolak permintaan tersebut; dengan alasan melanggar undang-undang AS yang melarang penyedia layanan komunikasi elektronik untuk membuka percakapan para penggunanya.
Raksasa media sosial itu mengatakan bahwa permintaan yang diajukan Gambia pada bulan Juni itu sama saja dengan meminta ‘akses khusus dan tanpa batas’ ke akun-akun penggunanya, demikian dikutip dari Reuters.
Meski begitu pada hari Kamis (6/8/2020), salah seorang juru bicara Facebook mengatakan bahwa Facebook tetap berpendirian untuk melawan segala tindak kebencian dan kekerasan, termasuk yang terjadi di Myanmar.
Facebook menerangkan bahwa dalam hal ini, mereka sedang bekerja sama dengan Tim Investigasi Independen PBB untuk Myanmar.
“Kami mendukung upaya perlawanan terhadap kejahatan internasional dan saat ini (kami) terus bekerja sama dengan pihak berwajib dalam menyelidiki kasus ini,” sebut juru bicara Facebook tersebut.
Gambia menuntut Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas kasus genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Rezim negara Asia Tenggara itu mengelak dengan mengatakan bahwa mereka hanya melawan “pemberontakan sektarian” dan membantah melakukan upaya pembantaian sistematis.
Sejak militer menggelar operasi genosida pada bulan Agustus 2017 lalu, sekira 730 ribu muslim Rohingya terpaksa mengungsi dari tanah airnya di Arakan atau negara bagian Rakhine.
Para pengungsi Rohingya mengatakan bahwa mereka menyelamatkan diri dari pembunuhan dan pemerkosaan massal yang dilakukan Myanmar.
Pada tahun 2018, tim penyidik PBB sendiri telah menyatakan bahwa Facebook memiliki peranan penting dalam penyebaran ujaran kebencian yang memicu kekerasan terhadap etnis Rohingya ini.* SA