Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Hidayatullah.com | DI era sekitar tahun 1960-an, Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi. Ketika itulah Proklamator Bung Hatta mengirimkan sejumlah surat kepada Presiden Soekano. Bung Hatta sendiri sudah tidak aktif di pemerintahan. Sebagai contoh, kita simak surat Bung Hatta tertanggal 17 Juni 1963:
“Maafkanlah kalau PYM yang baru saja pulang dari beristirahat di luar negeri sudah menerima surat semacam ini yang mengutarakan masalah-masalah yang sangat penting. Sebagai seorang yang telah berpuluh-puluh tahun berjuang dan banyak berkorban untuk mencapai Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, saya merasa wajib menulis surat ini. Hati saya cemas melihat kemunduran dalam berbagai bidang.
Pertama, kemerosotan penghidupan rakyat, yang belum ada taranya dalam sejarah Indonesia, lebih dahsyat daripada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Harga beras yang melompat-lompat dari harga Rp 4,5 sampai Rp 60,- @ Rp 70,- sekilo dalam waktu yang singkat adalah suatu bukti yang nyata.
Kita selalu mendengung-dengungkan sosialisme, yang menjadi tujuan, tetapi tindakan-tindakan yang diambil pemerintah bertentangan dengan itu. Pendapatan rakyat makin ditekan, apalagi dengan politik inflasi yang dipercepat, tetapi beban rakyat makin diperbesar. Harga-harga diliberalisasikan, tarif-tarif bagi keperluan rakyat yang terpenting seperti air, listrik dan transport dinaikkan dengan berlipat ganda, sudah dua kali sekurang-kurangnya terjadi dalam pemerintahan langsung dipimpin oleh Paduka Yang Mulia.
Di segala negeri sosialis dan negeri-negeri yang terkenal seperti welfare state, tarif pemakaian barang-barang yang terpenting buat hidup sengaja direndahkan serendah-rendahnya, sehingga jumlahnya hanya satu fraksi kecil saja dari pendapatan sebulan. Di Swedia pernah saya lihat, bahwa seorang tukang ahli yang mendapat upah Kr 6,- sejam, ongkos listrik rumahnya sebulan hanya Kr 10,- sedangkan air gratis. Di sini ada orang yang sekarang harus membayar harga pemakaian air, listrik dan gas lebih dari 45% — empat puluh lima persen – dari pendapatannya sebulan yang diperolehnya dari pemerintah, sedangkan pendapatannya itu jauh dari mencukupi untuk hidup.
Tetapi, bukan kecemasan hati tentang kemerosotan ekonomi ini yang menjadi tujuan surat ini. Catatan pendek di atas hanya saya sebut untuk mengingatkan saja. Bukan pula kecemasan hati saya tentang pertentangan sosial yang bertambah tajam dalam masyarakat yang akan saya paparkan di sini. Cukuplah saya sebut sepintas lalu kemerosotan moral, terutama yang berupa catut dan korupsi yang sudah menghinggapi seluruh tubuh administrasi negara, cq. pemangku-pemangku dan pegawai negeri.
Gaji yang jauh daripada cukup, yang hanya cukup untuk hidup seminggu, paling lama sepuluh hari, mendorong mereka mau tidak mau melakukan hal itu. Pertentangan kelas sosial semakin hebat.
Tujuan kita sosialisme, tetapi mis-management Pemerintah dalam hal ekonomi menimbulkan satu golongan kapitalis baru yang memandang dirinya “orang elite”, yang hidupnya mewah dan menganggap dirinya kelas yang diperlukan benar oleh orang-orang pemerintah di pusat dan daerah. Pertentangan kaya dan miskin sangat menyolok mata, belum pernah setajam sekarang ini.
Yang tragisnya lagi ialah, bahwa pembentukan kelas elite itu, yang tak tahu diri lagi, sebagian besar sejalan dengan perbedaan rasial. Keadaan ini tidak saja mencemoohkan sosialisme, tetapi juga menghambat jalannya proses persatuan bangsa. Tetapi juga catatan ini hanya sebagai peringatan, supaya diperhatikan.”
***
Itulah sebagian isi surat Bung Hatta bertanggal 17 Juni 1963. Tampak, Bung Hatta resah dengan krisis ekonomi, korupsi, dan juga pertentangan sosial yang tajam di tengah masyarakat. Dua tahun kemudian, pada 1 Desember 1965, Bung Hatta mengirim surat lagi kepada Bung Karno. Lagi-lagi, Bung Hatta mengingatkan kebijakan pemerintah yang dinilainya salah dalam soal ekonomi.
“Bukan suatu usaha ke jurusan mengekang inflasi yang kita lihat sekarang, melainkan masyarakat dikejutkan oleh suatu revolusi harga yang dilancarkan pemerintah sendiri. Harga bensin dinaikkan dari Rp 4,- seliter menjadi Rp 250,- yaitu 6250%. Harga minyak tanah naik dari Rp 15,- sampai Rp 150 seliter. Tarif gas dan demikian juga tariff listrik, naik kira-kira 20 kali lipat.
Tidakkah melipatgandakan kenaikan harga itu pada segolongan barang akan menimbulkan proses yang bertalian ke jurusan semua barang. Harga beras sudah meningkat dalam waktu seminggu dari Rp 1.000,- menjadi Rp 3.000,-. Tarif oplet, bus, truk dan becak, sementara naik dua kali lipat. Dengan sendirinya harga sayur-mayur yang diangkut dengan truk dari jauh dan harga barang lainnya meningkat pula.
Bung menghendaki hilangnya inflasi – atau lebih baik dikatakan mengekang harga – tetapi pemerintah Bung menimbulkan revolusi harga, memperhebat inflasi, yang sangat menekan penghidupan rakyat.”
Demikian petikan surat keprihatinan Bung Hatta akan kondisi perekonomian masyarakat di akhir tahun 1965 tersebut.
***
Bulan ini, Agustus 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa perekonomian Indonesia terkontraksi 5,32% pada kuartal II 2020. Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32%. Pada kuartal I tahun 1999, ekonomi Indonesia minus 6,13%.
Untuk menghadapi kondisi kritis, kita berharap, semua pihak, terutama pemerintah mau belajar dari sejarah. Tujuan bernegara kita adalah mewujudkan masyarakat yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pada saat seperti ini kita berharap, segenap warga bangsa bekerjasama mengatasi masalah yang tidak ringan.
Di tengah musibah Covid-19 yang sudah berangsung selama berbulan-bulan, krisis ekonomi mulai membayangi. Semoga negeri kita selamat dari musibah yang lebih berat lagi. Saatnya berpikir serius, lalu introspeksi, dan bertobat dari perbuatan serta kebijakan yang salah. Semoga Allah melindungi kita semua! Amin.* / Depok, 6 Agustus 2020
Penulis adalah pengasuh Pesantren Attaqwa Depok (ATCO)
NB. Surat-surat Bung Hatta kepada Bung Karno bisa dibaca lebih lengkap dalam buku “Demokrasi Kita” karya Bung Hatta (Bandung: Sega Arsy, 2009).