Hidayatullah.com—Sudan Selatan memang sudah berpisah dari negara Sudan yang berpusat di Khartoum, tetapi menurut seorang uskup agung negara itu rakyat tidak pernah merasakan kedamaian.
Perjanjian damai yang dicapai awal tahun ini diharapkan mengakhiri perang saudara yang berkobar sejak Desember 2013, yang berawal dari perebutan kekuasaan di negara baru itu. Sudan Selatan resmi memisahkan diri dari Sudan pada 9 Juli 2011.
Bagi ribuan rakyat Sudan Selatan yang tinggal di negara-negara bagian Equatoria Barat, Tengah dan Timur, perjanjian damai tersebut tidak pernah terwujud. Selama beberapa bulan terakhir pertempuran berlanjut antara kelompok pemberontak yang dikenal sebagai National Salvation Front dan pasukan pemerintah.
Paul Benjamin Yugusuk, uskup agung Equatoria Tengah, mengatakan kepada BBC Focus on Africa Jumat (28/8/2020) bahwa di wilayahnya dia melihat “sangat banyak orang yang kehilangan tempat tinggal… orang-orang yang terbunuh dan orang-orang yang disiksa.”
Menurut Yugusuk situasinya semakin memburuk dan “kelihatannya masyarakat tidak pernah menikmati kedamaian sejak [kesepakatan] itu ditandatangani.”
Sudan Selatan sebenarnya merupakan negara yang kaya akan sumber minyak. Menyusul pemisahan diri dari Khartoum, negara Sudan bahkan hingga kini mengalami krisis berkepanjangan disebabkan sumber devisanya berupa minyak berkurang sangat banyak. Sebagian besar ladang minyak Sudan yang produktif berada di selatan yang kini masuk ke dalam wilayah Sudan Selatan. Kekuatan-kekuatan politik dan kelompok bersenjata Sudan Selatan berlomba untuk menguasai kursi pemerintahan dan ladang minyak tersebut, sehingga memicu perang sipil alias perang saudara.
Ironisnya, salah satu alasan utama mengapa Sudan Selatan memilih memisahkan diri dari Sudan adalah karena rakyatnya menuding pemerintah Khartoum menguasai sumber daya alamnya itu, mereka dimarjinalkan dan tidak pernah merasakan keuntungannya.*