Hidayatullah.com—Mantan-mantan hakim dan praktisi hukum terkemuka di Inggris mengkritik pemerintah dalam hal penanganan pengungsi yang disebutnya “lambat dan sempit”.
Lord Phillips, mantan ketua Mahkamah Agung Inggris, dan Lord Macdonald, mantan direktur penuntutan umum, termasuk di antara 300 penandatangan surat terbuka berisi kritik terhadap cara dan kebijakan pemerintah kerajaan dalam menangani pengungsi saat ini, lapor BBC Senin (12/10/2015).
Mereka berpendapat, kebijakan penerimaan 20.000 pengungsi selama lebih dari lima tahun tidaklah cukup. Salah satu pensiunan hakim mengatakan Inggris mampu untuk menampung 75.000 pengungsi setahun.
Termasuk ikut menandatangani surat terbuka yang dikirim kepada pers itu adalah mantan presiden Pengadilan HAM Eropa, Sir Nicolas Bratza.
Penandatangan surat Catriona Jarvis, seorang pensiunan hakim, mengatakan kepada BBC Radio 4 bahwa respon pemerintah terhadap masalah pengungsi sekarang ini “terlalu rendah, terlalu lambat dan terlalu sempit.”
Mantan hakim wanita itu mengatakan Inggris mampu menampung lebih banyak pengungsi.
“Pada saat terjadi krisis Balkan kita menerima sekitar 75.000 setahun. Itu masih berada dalam batas kemampuan kita. Kita berhasil menanganinya dengan baik,” kata Jarvis.
“Kita adalah negara ketujuh atau keenam terkaya di dunia,” kata Jarvis menegaskan bahwa Inggris mampu untuk mengubah kebijakannya dan menerima jatah pembagian pengungsi dalam jumlah lebih besar dari yang diminta Komisi Eropa.
“Perlindungan internasional, itu adalah kewajiban bersama, tanggungjawab bersama,” imbuhnya.
Koresponden BBC untuk masalah hukum mengatakan, “sangat tidak biasa” para mantan hakim secara terang-terangan dan terbuka mengkritik kebijakan pemerintah dengan cara seperti itu.
Para pengacara dan hakim itu juga menyeru agar pemerintah membuat jalur rute perjalanan migran yang aman menuju Uni Eropa.
Pengacara senior Pushpinder Saini QC mengatakan bahwa surat terbuka itu menunjukkan bahwa ada keprihatinan yang sangat besar terhadap cara dan kebijakan pemerintah dalam menangani krisis pengungsi saat ini.
“Sebagai sebuah negara yang pernah mendapatkan reputasi sebagai tempat paling aman bagi pengungsi, kita telah kehilangan arah,” kata Saini.
“Sebagai sebuah negara yang makmur dan mapan, kita mampu untuk berbuat lebaih baik dari ini,” kata Sir Stephen Sedley, mantan hakim pengadilan banding.
Dalam surat itu para hakim dan pengacara juga meminta agar apa yang disebut sebagai “Dublin System” dihentikan sementara.
Sistem Dublin itu mengharuskan seorang migran meminta suaka di negara di mana pertama kali dia menginjakkan kakinya di wilayah Uni Eropa. Contoh, jika seorang migran terdampar di Pulau Lampedusa ketika akan menuju Jerman, maka dia harus meminta suaka kepada negara Italia, atau jika dia terbang ke kota Manchester sebelum menuju ke Jerman, maka dia harus meminta suaka di Inggris.*