Hidayatullah.com—Di desanya di Delta Nil Mesir, Shaimaa Saleh yang berusia 35 tahun menghabiskan malam-malam tanpa tidur dengan mengkhawatirkan tentang bagaimana mengumpulkan hampir 1.000 Dolar untuk menyelamatkan rumahnya yang belum selesai dibangun.
Seperti ratusan ribu lainnya, dia menghadapi tenggat waktu hingga akhir Oktober di mana penduduk bangunan tanpa izin – kebanyakan di daerah miskin – harus mengajukan permohonan untuk mengatur properti mereka dengan biaya tertentu. Jika tidak, mereka akan menghadapi pembongkaran paksa, Al Jazeera melaporkan.
Para pejabat mengatakan undang-undang yang diberlakukan tahun lalu adalah bagian dari tindakan keras terhadap bangunan ilegal yang melanggar standar keselamatan, menghambat lalu lintas dan pembangunan, dan melanggar batas tanah yang subur.
Ini adalah bagian dari upaya Presiden Abdel Fattah As-Sisi untuk meningkatkan infrastruktur dan perumahan serta menangani konstruksi sembarangan selama beberapa dekade.
Bagi warga, ancaman pembongkaran merupakan pukulan baru setelah bertahun-tahun penurunan ekonomi, kenaikan harga kebutuhan dan yang terbaru, dampak dari virus corona.
“Saya telah berjuang untuk hidup sebagai buruh tani untuk memberi makan ketiga anak saya sejak suami saya meninggal di Kuwait tahun lalu,” kata Saleh, seorang penduduk desa Defriya di provinsi Kafr El-Sheikh.
“Saya menghasilkan sekitar 1.500 pound (95,48 Dolar) sebulan dari pekerjaan dan pensiun almarhum ayah saya. Tapi pemerintah ingin 15.000 pound ( 954,8 Dolar) untuk mengatur rumah saya.”
Suami Saleh, seorang pekerja konstruksi, mulai membangun rumah bata merah pada tahun 2014 tanpa izin dan kemudian menambahkan dua lantai yang belum selesai, khas Mesir di mana konstruksi perumahan informal telah lama menjadi norma.
Kantor berita Reuters berbicara kepada belasan penduduk di tiga provinsi yang mengatakan bahwa mereka telah berjuang keras untuk membayar biaya penyelesaian antara 50 (3,18 Dolar) dan 2.000 pound (127,3 Dolar) per meter persegi.
Kampanye pemerintah telah menimbulkan ketegangan di beberapa komunitas.
Di Saryaqos, sebuah desa di luar Kairo, warga mengatakan buldoser menghancurkan empat bangunan informal pada akhir Agustus, sebelum batas waktu berakhir.
Penduduk yang marah melemparkan batu ke buldoser dan pekerja yang didampingi oleh polisi, menurut empat warga dan sebuah video diunggah secara online.
Pusat pers negara Mesir tidak menanggapi pertanyaan tentang penderitaan warga dan biaya. Kementerian Perumahan dan Pembangunan lokal menolak berkomentar tentang keluhan atas pembongkaran sebelum batas waktu.
Otoritas lokal di provinsi Qalyubia tidak menanggapi pertanyaan tentang insiden itu, tetapi seorang pejabat keamanan mengatakan 15 pria telah ditangkap karena kerusuhan.
Otoritas Mesir telah menahan beberapa ratus orang dalam beberapa hari terakhir, kata sebuah kelompok hak asasi, di tengah laporan demonstrasi kecil yang tersebar melawan Presiden el-Sisi.
Banyak orang yang sedang membangun tentu saja tidak kaya dan tidak memiliki sumber daya untuk membayar denda.
Presiden mengeluh bahwa tidak cukup banyak orang yang datang untuk mengatur properti mereka, dan dalam siaran televisi mengancam akan mengerahkan tentara di desa-desa untuk menghancurkan rumah-rumah ilegal jika pelanggaran tidak berhenti.
Beberapa penduduk di Saryaqos mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa mereka bergegas untuk mengatur properti mereka setelah insiden tersebut.
Leilani Farha, yang mengunjungi Mesir sebagai pelapor khusus PBB untuk hak atas perumahan pada 2018 dan sekarang mengepalai The Shift, sebuah kelompok hak perumahan, mengatakan kampanye tersebut berisiko membuat orang miskin berhutang.
“Banyak orang yang membangun tentu saja tidak kaya dan tidak memiliki sumber daya untuk membayar denda. Anda tidak bisa memeras air dari batu,” kata Farha.
Kampanye tersebut telah menyertai ledakan pembangunan jalan raya, jembatan, kota-kota baru, dan zona industri yang dipimpin militer yang bahkan tidak melambat walau terdapat pandemi virus corona.
As-Sisi, yang baru-baru ini memerintahkan pemerintah untuk membangun satu juta unit rumah, mengatakan setiap orang Mesir yang menginginkan rumah susun akan mendapatkannya.
Perdana Menteri Moustafa Madbouly mengatakan biaya, yang dapat dibayarkan selama tiga tahun, akan diinvestasikan untuk memperbaiki infrastruktur.
Para pejabat mengatakan mereka juga berjuang untuk melestarikan lahan subur yang terbatas. Populasi Mesir mencapai 100 juta tahun ini, 97 persen di antaranya tinggal di hanya 8 persen dari wilayah negara gurun di sepanjang Sungai Nil.
Seluruh permukiman bermunculan ketika para pembangun mengeksploitasi lemahnya penegakan hukum dalam kekacauan yang terjadi setelah 2011.
Mesir kehilangan 90.000 feddans (37.800 hektar) lahan pertanian sebagai akibatnya, kata Madbouly.
Namun beberapa warga mengatakan, mereka diperas untuk mendapatkan uang tunai setelah negara menoleransi perumahan mereka selama bertahun-tahun. Sementara yang lain mengatakan tuan tanah telah menjual apartemen kepada mereka dengan mengklaim bahwa mereka telah dibangun secara legal.
Tiga kontraktor kecil dan pemilik gedung tinggi mengatakan mereka harus membayar jutaan untuk menyelesaikan pelanggaran mereka dan memperingatkan bahwa ini akan merusak bisnis mereka. Salah satu dari mereka mengatakan empat bangunannya dihancurkan pada bulan Maret.
Pemerintah memperlunak sikapnya dalam beberapa pekan terakhir dengan memperpanjang batas waktu penyelesaian yang awalnya ditetapkan untuk 30 September dengan menambah tenggat satu bulan dan menurunkan biaya.
Pihak berwenang mengumpulkan hampir tujuh miliar pound (445,3 juta Dolar) dalam biaya hingga pertengahan September, kata pernyataan kementerian pembangunan setempat. Sekitar 1,1 juta permohonan penyelesaian telah diterima.*