Hidayatullah.com—Lebih dari 30 persen sekolah dasar dan menengah di Jepang tergolong tidak ramah siswa difabel karena tidak memiliki toilet yang dapat diakses pengguna kursi roda dan lebih dari 70 persen tidak memilikilift, menurut survei terbaru.
Asahi Shimbun Jumat (11/12/2020), hal itu terungkap dari hasil survei awal yang dirilis Kementerian Pendidikan tentang aksesibilitas sekolah di seluruh Jepang yang dimulai 1 Mei.
Oleh karena banyak sekolah dirancang agar dapat dipakai sebagai pusat evakuasi saat terjadi bencana, kementerian menetapkan target pada tahun fiskal 2025 semua sekolah harus dapat diakses pengguna kursi roda. Kementerian akan memperluas subsidi kepada pemerintah daerah untuk mewujudkannya.
Pemerintah selama ini fokus pada penguatan keselamatan kegempaan dalam pembangunan fasilitas sekolah. Saat ini, semua sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan menengah atas sudah menyelesaikan pekerjaan penguatan bangunan tahan gempa. Namun, pembangunan fasilitas penunjang untuk siswa penyandang disabilitas oleh pemerintah setempat masih belum merata dan dinilai kementerian masih belum mencukupi.
Kementerian bermaksud setidaknya ada satu toilet yang dapat dipergunakan oleh siapa saja termasuk penyandang cacat di sekitar 95 persen sekolah pada tahun fiskal 2025, membuat pelandai yang dapat dipergunakan orang berkursi roda di di setiap lantai di semua bangunan sekolah, serta dari bangunan sekolah yang ada setidaknya 40 persen memiliki lift.
Mulai tahun fiskal mendatang, kementerian akan menaikkan rasio subsidi kepada pemerintah daerah guna meningkatkan jumlah sekolah yang ramah terhadap siswa difabel dari sepertiga dari total sekolah yang ada menjadi setengahnya.
Berdasarkan undang-undang bebas halangan yang direvisi, mulai April 2021, bangunan SD dan SMP yang baru dibangun wajib memiliki fasilitas toilet yang dapat diakses pengguna kursi roda, pelandai, lift dan fasilitas pendukung lain bagi kaum difabel.
Sekolah yang sudah ada diminta melengkapi gedungnya dengan fasilitas-fasilitas tersebut.
Selama ini banyak siswa difabel yang mengalami kesulitan untuk bersekolah. Shunsuke Nishida, 20, salah satunya. Saat ini warga Prefektur Nagano itu merupakan mahasiswa Fakultas Humaniora di Universitas Waseda.
Nishida mengidap penyakit yang membuat ototnya melemah dan menggunakan kursi roda sejak duduk di kelas empat. Dia terpaksa bersekolah jauh dari rumahnya, di luar distrik tempat tinggalnya, dengan menggunakan mobil sebab satu-satunya sekolah dasar di daerahnya tidak memiliki fasilitas lift. Di sekolah dasar itu dia memiliki banyak teman, yang memahami kondisinya.
Ketika harus melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, lagi-lagi Nishida mengalami kesulitan, sebab sekolah di dekat rumahnya tidak memiliki fasilitas pendukung bagi difabel, dan di sekolah barunya sulit menemukan teman yang memahami kondisi fisiknya.
Meskipun sudah giat belajar agar dapat mendaftar di SMA idamannya, lagi-lagi dia harus gigit jari karena sekolah itu terkategori tidak ramah untuk penyandang disabilitas.
“Kalau saja semua sekolah bebas dari halangan, maka saya dapat pergi ke sekolah menengah reguler ,” kata Nishida.
Menurutnya dukungan fisik, tidak hanya dukungan infrastruktur, juga diperlukan bagi siswa difabel.
Sekitar 270.000 anak masuk kelas khusus difabel di tingkat SD dan SMP pada tahun fiskal 2019, menurut kementerian, naik hampir dua kali lipat dibanding 10 tahun silam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jumlah anak difabel yang bersekolah di sekolah reguler tetapi masuk kelas terpisah khusus penyandang disabilitas juga meningkat.
Toshiya Kakiuchi, 31, seorang difabel pimpinan sebuah perusahaan konsultan, mengatakan sekarang kehidupan semakin mudah bagi kaum difabel di Jepang dibanding masa lampau.
“Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” kata Kakiuchi.
Kalau anak-anak difabel sulit bersekolah di tingkat dasar, menengah hingga ke universitas, maka hal itu akan menjadi kerugian bagi masyarakat Jepang sendiri, imbuhnya.
Terlebih, sekolah-sekolah di Jepang juga difungsikan sebagai pusat evakuasi ketika terjadi bencana. “Sekolah merupakan infrastruktur yang esensial tidak saja bagi pendidikan tetapi juga untuk masyarakat yang mengalami penuaan ini,” ujarnya, mendesak agar pemerintah memprioritaskan penggunaan anggaran untuk menjadikan sekolah ramah penyandang disabilitas.*