Hidayatullah.com—Ordo Jesuit di Spanyol mengakui bahwa 81 anak dan 21 orang dewasa pernah mengalami kejahatan seksual yang dilakukan oleh 96anggotanya sejak tahun 1927, dan meminta maaf atas kejahatan seksual yang memalukan dan menimbulkan penderitaan tersebut.
Dalam laporan yang dirilis hari Kamis (21/1/2021), Compania de Jesus (Society of Jesus, Serikat Yesus atau dikenal juga dengan sebutan Yesuit) –yang anggotanya banyak yang bekerja sebagai guru—mengatakan bahwa kejahatan seksual tersebut mayoritas terjadi di sekolah atau “yang berkaitan dengan sekolah”.
Menurut dokumen itu, 48 dari 65 Jesuit yang melakukan tindakan seksual terhadap anak-anak sudah meninggal dunia. Empat orang yang masih hidup sekarang bukan lagi Jesuit dan 13 lainnya sudah dilarang bekerja menangani anak-anak sambil menunggu hasil proses kasus sipil dan gerejanya, atau sudah diperintahkan berhenti dari ministrinya dan dikirim ke tempat pengasingan bagi Jesuit.
Dilansit The Guardian, ordo itu mengatakan bahwa 96 Jesuit yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan dewasa antara tahun 1927 dan 2020 hanya mencakup 1,08% dari anggotanya selama periode itu.
“Kami ingin menghaturkan permohonan maaf kepada para korban dan masyarakat atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, atas budaya bungkam kami, dan karena tidak menghadapi fakta yang ada secara jujur dan adil,” kata Antonio Espana, pimpinan ordo tersebut di Spanyol. “Kami juga ingin mengingatkan diri kami bahwa ada orang-orang yang menderita akibat luka-luka ini dan kami berupaya untuk tidak menambah kepedihan yang mereka rasakan.”
Ordo Jesuit Spantol tidak memaparkan nama-nama pelaku kejahatan seksual tersebut. Kepada koran ternama Spanyol El Pais mereka mengatakan, alasannya agar tidak terjadi “tuduhan tanpa bukti” terhadap anggotanya dan sekaligus mengirimkan “pesan kepada para korban bahwa mereka dapat mempercayai niat kami untuk mengungkap kebenaran.”
Jesuit Spanyol mengatakan bahwa mereka berkomitmen terhadap transparansi, seraya menambahkan pihaknya sudah menerapkan protokol dan rencana yang akan menjamin bahwa institusi-institusi Jesuit merupakan “tempat aman bagi anak-anak dan orang-orang rentan”.
Mereka jug meyakini sejumlah orang sudah melaporkan kasus-kasus pelanggaran seksual selama dua tahun belakangan dengan menggunakan alamat email [email protected], yang memang disediakan untuk membantu para korban.
Infancia Robada (Stolen Childhood), asosiasi yang mewakili korban kejahatan seksual semasa kanak-kanak, menyambut baik laporan itu tetapi pada saat yang sama menyebutnya “menggelikan” mengingat kejahatan yang sesungguhnya telah terjadi selama kurun itu jumlahnya jauh lebih banyak dari yang dituliskan.
“Mereka (Ordo) sepertinya lupa bahwa korban tidak melaporkan kejahatan itu karena mereka mau. Mereka melaporkannya hanya jika mereka bisa,” kata Juan Cuatrecasas, presiden asosiasi itu. “Pada tahun 1927, tidak mungkin ada orang yang bisa melaporkan hal seperti ini,” tegasnya.
“Kami menghargai upaya Jesuit dengan menyelami masa lalu dan memaparkan tanggal dan statistiknya. Namun, hal ini harus dipandang sebagai awal dari hal lainnya yaitu pengakuan dan pemahaman,” imbuhnya.
Cuatrecasas mengatakan Jesuit perlu berbicara dengan para koran dan membahas soal proses hukumannya dan kompensasi.
Pada tahun 2018, Paus Fransiskus –yang dia sendiri seorang Jesuit— mengakui sejumlah kegagalan dari Gereja Katolik Roma dalam menangani pendeta dan rohaniwan yang melakukan kejahatan seksual.
Namun setahun kemudian, Paus Fransiskus dihujani kecaman karena tidak mengambil tindakan nyata terhadap kasus-kasus kejahatan seksual yang menggunung di lingkungan gereja di berbagai belahan dunia, dan karena dia justru berkata bahwa kejahatan seksual terhadap anak-anak tidak hanya terjadi di lingkungan gereja melainkan sudah terjadi sepanjang sejarah di banyak lingkungan budaya dan masyarakat luas.*