Hidayatullah.com — Kerusuhan meningkat di Sudan ketika tentara diduga menembaki pengunjuk rasa di ibu kota, menyebabkan tiga korban dilaporkan tewas, kemarin. Jenderal Abdul Fattah al-Burhan mengumumkan keadaan darurat serta membubarkan pemerintah, setelah militer menahan para pemimpin sipil yang memimpin transisi ke pemerintahan sipil penuh setelah penggulingan Omar al-Bashir pada April 2019.
“Untuk memperbaiki arah revolusi, kami memutuskan untuk menyatakan keadaan darurat di seluruh negeri dan membubarkan dewan kedaulatan transisi serta Kabinet,” katanya dikutip AFP.
Bentrokan meletus di Khartoum setelah pidatonya, dan Kementerian Informasi dilaporkan mengklaim tentara menembakkan peluru tajam ke pengunjuk rasa yang memprotes kudeta militer, di luar markas pasukan. Presiden Sudan menyatakan keadaan darurat setahun untuk mengekang aksi protes.
Menurut Komite Dokter Pusat Sudan, tiga pengunjuk rasa tewas dan sekitar 80 lainnya terluka dalam insiden itu. Kementerian Penerangan mengatakan kekerasan pecah di luar markas militer setelah tim menahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok; menteri di bawah pemerintahannya; dan anggota masyarakat di dewan pemerintahan.
Menurut kementerian lebih lanjut, layanan Internet secara nasional juga telah terputus, sementara rute akses ke Khartoum ditutup, sebelum tentara menyerbu markas penyiaran negara di Omdurman.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam sebuah pernyataan mengutuk kudeta oleh militer dan menekankan bahwa penahanan para pemimpin sipil itu melanggar hukum. Para diplomat di New York mengatakan kepada AFP bahwa Dewan Keamanan PBB diperkirakan akan mengadakan pertemuan darurat untuk membahas krisis di Sudan, hari ini.
Sementara itu, Uni Eropa, Uni Afrika dan Liga Arab juga menyatakan keprihatinan atas krisis tersebut. Amerika Serikat, yang juga merupakan pendukung utama upaya pemerintah transisi di Sudan, telah menegaskan bahwa pihaknya telah menangguhkan penyaluran bantuan sebesar US$700 juta.
“Pemerintah transisi yang dipimpin oleh para pemimpin sipil harus segera dipulihkan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price. *