Hidayatullah.com—Ini mungkin terdengar seperti film petualangan yang buruk, bagaimana tentara Prancis telah mendarat di Yaman yang diduga sedang ‘mengincar’ gas alam dengan alasan mencoba menstabilkan daerah itu. Pemerintah Keselamanatan Yaman (National Salvation Government/NSG) menyatakan keprihatinan atas apa yang disebutnya aktivitas “mencurigakan” pasukan AS dan Prancis di selatan negara yang dilanda perang itu, lapor laman The Cradle.
Diskusi tersebut berlangsung selama sesi parlemen yang diadakan oleh pejabat NSG pada 17 Agustus lalu. Aktivitas mencurigakan yang dikutip oleh NSG mengacu pada klaim yang dibuat oleh mantan Menteri Luar Negeri Yaman, Abu Bakr al-Qirbi, yang mengatakan bahwa Legiun Asing Prancis, pasukan militer Prancis yang terdiri dari warga negara asing, tiba di provinsi Shabwah Yaman untuk mengamankan kendali atas fasilitas gas alam Balhaf.
Menurut al-Qirbi, pasukan dari Legiun Asing Prancis telah mendarat di pelabuhan Balhaf di Provinsi Shabwa selatan, sekitar 230 mil timur Aden. Tujuan tentara Prancis ini, kata dia, untuk mengamankan fasilitas ekspor penting gas alam cair (LNG) di sana.
Al-Qirbi mengatakan bahwa ada “persiapan yang dilakukan Prancis untuk mengekspor gas dari fasilitas Balhaf … mengingat kenaikan harga gas internasional,” dan dalam upaya untuk mengurangi ketergantungan Eropa pada bahan bakar Rusia di tengah krisis energi global yang diperburuk oleh konflik di Ukraina.
Al-Qirbi juga menyarankan bahwa langkah Prancis “bisa menjadi alasan untuk peristiwa di Shabwah,” mengacu pada bentrokan baru-baru ini antara kelompok tentara bayaran yang didukung UEA dan pasukan Partai Islah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin dan Dewan Kepemimpinan Presiden (PLC) yang didukung Saudi.
Al-Qirbi pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Yaman dari tahun 2001 hingga revolusi yang dipimpin Syiah al-Houthi pada tahun 2014. Meskipun mengklaim pemberontak Houthi didukung oleh Iran, al-Qirbi bergabung dengan Pemerintah Keselamatan Nasional secara singkat pada tahun 2016 untuk mengulangi perannya sebagai kepala diplomat.
Fasilitas LNG Yaman di Balhaf selesai pada 2006 dan dimatikan pada April 2015, sebulan setelah serangan koalisi pimpinan Saudi di negara itu, dan tetap tidak aktif. Sejak itu, Balhaf menjadi basis operasi utama bagi pasukan Emirat di Yaman, meskipun hampir semua pasukan Emirat telah ditarik dari negara tersebut.
Gubernur Shabwa pada saat itu, Mohammed Saleh bin Adyo, menuduh UEA merebut kota itu karena kilang LNG, dan mencoba menggunakannya untuk memicu “pemberontakan” untuk tujuan mereka sendiri. Daerah di sekitar Balhaf telah lama dianggap sebagai benteng Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) selama perang saudara, dan UEA dituduh membantu mempersenjatai mereka.
Investigasi oleh Amnesty International dan CNN pada awal 2019 mengungkapkan bahwa senjata Barat yang dijual ke UEA kemudian muncul di tangan kelompok pemberontak di seluruh Yaman, termasuk AQAP. Senjata Prancis sangat menonjol dalam konflik tersebut.
Pada April 2019, sebuah laporan yang sangat rahasia dari tahun sebelumnya bocor ke pers, yang mengungkapkan bahwa pemerintah Prancis berbohong ketika mengatakan tidak mengetahui senjata buatan Prancis digunakan terhadap warga sipil di Yaman, atau memang, digunakan di Yaman.
Dua tahun kemudian, Presiden Prancis Emmanuel Macron dikritik secara luas karena terbang ke Abu Dhabi untuk menutup kesepakatan senilai $19 miliar untuk menjual 80 jet tempur Rafale emirat dan 12 helikopter Caracal. Bulan lalu, Macron dan Putra Mahkota Emirat Mohammed bin Zayed menandatangani kesepakatan baru tentang eksploitasi bersama sumber daya LNG.
Perang di Yaman dimulai pada Maret 2015, ketika Presiden Abdullah Mansyur Hadi melarikan diri ke Riyadh setelah istana diduduki pemberontak Syiah al-Houthi yang didukung Iran. Saudi kemudian mengumpulkan koalisi negara-negara Sunni, termasuk UEA, Maroko, dan Sudan, dengan dukungan Amerika Serikat, untuk menghancurkan Houthi dan mengembalikan Hadi ke tampuk kekuasaan.
Akibat perang ini, PBB mengatakan, sekitar 377.000 orang tewas, sebagian besar karena penyebab non-tempur, seperti penyakit, kelaparan, dan kekurangan obat-obatan atau air bersih. Terlepas dari serangan itu, Houthi terus memperluas wilayah mereka, mendorong ke selatan menuju Aden dan timur ke Provinsi Ma’rib dan Shabwa, di mana simpanan minyak dan gas negara itu berada.
Mereka juga telah memasang serangan drone dan rudal terhadap instalasi Saudi dan Emirat di dalam negara-negara tersebut, mengubah perang menjadi pertempuran gesekan.
Menurut laman anti-perang, news-antiwar.com, Legiun Asing Prancis adalah korps Angkatan Darat warga negara asing, yang secara historis digunakan dalam petualangan Prancis di luar negeri. Mereka adalah tentara yang telah digunakan dalam beberapa dekade sejak akhir penjajahan Afrika.
Juni lalu, tiga LSM yang bergerak di bidang HAM melayangkan gugatan kepada tiga produsen senjata asal Prancis karena diduga telah terlibat dalam kejahatan perang di Yaman. Produsen senjata tersebut diketahui menjual senjata ke Arab Saudi dan UEA.
Ketiga LSM yang mengajukan gugatan adalah European Centre for Constitutional and Human Rights (ECCHR), Mwatana for Human Rights, dan Sherpa International. Sementara itu, ketiga produsen senjata Prancis yang menjadi tergugat adalah Dassault Aviation, Thales, dan MBDA France.*