Hidayatullah.com–Rezim Suriah telah melancarkan serangan darat dan udara di Ghouta Timur, beberapa jam setelah Dewan Keamanan PBB secara bulat memilih mendukung sebuah resolusi yang menyerukan 30 hari genjatan senjata di Suriah, demikian para saksi mata mengatakan kepada Aljazeera.
Pasukan Presiden Bashar al-Assad mulai menyerang kelompok oposisi dari beberapa garis depan di wilayah oposisi dekat Damaskus pada Ahad pagi, sementara pesawat-pesawat jet Suriah terus membombardir wilayah pemukiman terkepung itu untuk yang ke delapan hari berturut-turut.
Hayat Tahrir al-Syam, sebelumnya dikenal sebagai Front al-Nusra, merupakan salah satu dari banyak kelompok oposisi yang menguasai beberapa tempat di wilayah tersebut.
Kelompok terbesar merupakan Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army/FSA) beraliansi dengan Jaisyul Islam yang mengatakan bahwa kelompok tersebut telah menangkap dan membunuh “sejumlah besar tentara” ketika mereka berupaya memasuki kota, kata Osama Bin Javaid dari Aljazeera, Ahad (25/02/2018).
Melaporkan dari Gaziantep di Turkey, Bin Javaid mengkonfirmasi terdapat sejumlah upaya dari pemerintah untuk “menyerbu” wilayah tersebut dari beberapa sisi.
Narasumber oposisi yang mengendalikan kantong wilayah yang menahan serangan tersebut, dia melaporkan, bahwa para petempur berjuang untuk mempertahankan posisi mereka di beberapa garis depan.
Baca: Hujan Bom di Ghouta Timur, Korban Sudah Lebih 500 Orang
Petempur oposisi mengatakan mereka akan mendukung seruan genjatan senjata PBB, tetapi akan merespon setiap serangan karena mereka berhak mempertahankan diri.
Genjatan senjata bertujuan untuk mengevakuasi para penduduk dari pinggiran kota Damaskus, yang berada di bawah kepungan, dan untuk memungkinkan aliran bantuan makanan dan obat-obatan.
Minggu lalu hingga saat ini, tembakan artileri dan serangan udara mematikan dilancarkan oleh pasukan Suriah dukungan Rusia memperparah krisis kemanusiaan yang telah terjadi di kantong wilayah terkepung itu, rumah bagi 400.000 orang. [Lihat juga laporan video harian remaja Suriah di tempat terkepung, Muhammad Najem].
Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), lebih dari 500 penduduk sipil terbunuh dalam bombardir udara rezim Suriah yang dimulai sejak 18 Februari.
“Perlu dicatat bahwa sebelum ini [serangan darat] dimulai, telah terjadi bombardir keji di banyak tempat di Ghouta Timur, yang merupakan garis pertahanan kelompok oposisi,” Bin Javaid mengatakan.
Ghouta Timur merupakan wilayah kelompok oposisi terakhir yang tersisa di timur Damaskus dan telah berada di bawah kepungan oleh rezim Assad sejak 2013, sebagai upaya untuk mengusir mereka keluar.
Menurut Bin Javaid, pasukan rezim mengaku telah “secara spesifik menarget terowongan bawah tanah dan tempat persembunyian”. Tetapi melihat dari banyaknya korban sipil hal itu nampaknya tidak dapat dipercaya. Sama seperti yang terjadi dalam pertempuran Aleppo.
“Tampaknya pemerintah saat ini bersikeras untuk memasuki Ghouta Timur.”
Sementara itu, kepala angkatan bersenjata Iran Mohammed Baqri, mengatakan pada Ahad, Suriah akan menghormati seruan PBB untuk genjatan senjata, tetapi akan melanjutkan serangan pada apa yang mereka sebut “teroris” sebutan untuk kelompok pembebasan di wilayah-wilayah yang dikuasai Hayat Tahrir al-Syam.
“Genjatan senjata resolusi PBB di Suriah tidak mencakup Ghouta Timur; operasi pembersihan masih terus berjalan di pinggiran kota,” Tasnim mengutip Baqri yang mengatakan hal itu di Twitter.
Suriah dan sekutunya, Rusia dan Iran, juga sedang bertempur melawan kelompok oposisi di Provinsi Idlib, salah satu dari wilayah oposisi yang tersisa di Suriah.
Baik Ghouta Timur maupun Idlib seharusnya merupakan dua dari beberapa “zona de-eskalasi” yang disetujui sekitar setahun yang lalu oleh Rusia, Iran – keduanya sekutu pemerintah- dan Turki – pendukung oposisi bersenjata.
Baca: Jumlah Korban Tewas Kekalapan Rezim Bashar di Ghouta Timur
Operasi Penyelamatan Nyawa
Mohamad Katoub, manajer advokasi rumah sakit dan fasilitas medis di Ghouta Timur, menekankan bahwa tantangan terbesar ialah bombardir yang menarget “infrastruktur kemanusiaan”.
Berbicara pada Aljazeera dari Gaziantep, Katoub mencatat tim penyelamat tidak dapat bergerak karena hancurnya bangunan-bangunan dan serangan yang berkelanjutan.
“Dalam enam hari terakhir, kami kehilangan 40 persen dari kapasitas kami untuk menanggapi korban luka dan orang-orang yang membutuhkan pelayanan medis di wilayah ini,” katanya.
Tanpa sanitasi atau makan yang layak, wanita hamil, pasien-pasien dengan penyakit kronis dan anak-anak yang membutuhkan vaksinasi beresiko terkena penyakit, dia lebih lanjut menjelaskan.
“Saat ini, kita membutuhkan operasi penyelamatan nyawa,” Katoub mengatakan, merujuk pada ribuan penduduk sipil yang terluka.
“Kami tidak bisa berharap banyak dari resolusi UNSC ini – ini bukanlah resolusi UNSC pertama – yang menyerukan bantuan cepat ke dalam Ghouta.”
Baca: Penduduk Suriah ‘Mempersiapkan Diri untuk Mati, sementara Bashar Terus Hujani Bom di Ghouta
Resolusi Dewan Keamanan
Voting resolusi UNSC, yang disponsori oleh Kuwait dan Swedia, telah tertunda beberapa kali dikarenakan para anggota dewan berupaya meyakinkan Rusia untuk menyetujui syarat-syaratnya.
Pertemuan tersebut pada sebenarnya dilangsungkan jam 11 pagi waktu setempat (16:00 GMT) pada Jumat, tetapi negosiasi-negosiasi terkait tata bahasa resolusi itu membuat para pengaju membuat amandemen untuk menghindari veto Rusia.
Hasilnya, resolusi itu tidak memberikan waktu spesifik kapan genjatan senjata mulai berlaku.
Utusan khusus PBB untuk Suriah, Steffan de Mistura, telah menekankan perlunya sebuah genjatan senjata untuk menghentikan “bombardir mengerikan atas Ghouta Timur dan tembakan artileri keji di pinggiran kota Damaskus”.*/Nashidul Haq AR