Jum’at, 30 September 2005
Hidayatullah.com–Puasa, apa manfaatnya? Kalau mengacu pada sebuah penelitian di Maroko,puasa justru membuat orang semakin konsumtif. Penelitian lain di negara Barat mengatakan, puasa bisa menimbulkan rasa tak nyaman bekerja. Bahkan bisa penyakit infeksi saluran pernapasan, gangguan muscular performance, dan gangguan kewaspadaan. Benarkah ini?
“Penelitian tersebut (menghasilkan kesimpulan demikian) karena salah memilih objek yang diteliti,” kata Dr dr Ahmad Zainullah, SpP.
Menurut dokter yang baru saja mendapat gelar doktor dengan disertasi tentang puasa ini, objek yang mereka teliti seharusnya Muslim yang beriman. Karena, Al-Qur`an dengan tegas menyatakan perintah puasa itu hanya untuk orang beriman.
“Kalau yang diteliti bukan orang-orang yang beriman atau mereka yang berpuasa tidak dilandasi oleh iman, maka hasilnya negatif,” jelas dokter ahli paru-paru ini.
Kasus di Maroko, menurut Zainullah, bisa menghasilkan kesimpulan seperti itu karena objek penelitiannya adalah ibu-ibu yang suka berbelanja di mal dan pasar. Sedang kasus yang diteliti di Barat mengambil objek orang-orang yang kelaparan. “Tentu saja hasilnya berbeda dengan penilitian saya. Penelitian saya justru menyimpulkan bahwa puasa itu meningkatkan imunitas (kekebalan tubuh),” katanya.
Obyek penilitian Zainullah adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Luqmanul-Hakim (STAIL) Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya. Dari hasil penelitian selama bulan puasa di tahun 2003 itu menunjukkan bahwa imunitas para mahasiswa rata-rata meningkat selama dan sesudah menjalankan puasa.
Imunitas adalah pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Dalam keadaan sehat atau optimal, imunitas berfungsi secara efisien, sehingga tubuh dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat kehadiran substansi asing. Sistem imun yang terpapar oleh imunogen atau patogen (racun) akan meresponsnya sehingga tubuh kebal terhadap patogen tersebut.
“Imunitas terdari atas berbagai sel, imunoglobulin, berbagai sitokin penghantar sinyal antarsel yang semuanya bekerja bagaikan orkestra dalam pertahanan tubuh,” terang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Umum Lumajang (Jatim) ini.
Menurut suami dari Ariati ini, puasa yang menimbulkan sakit bisa terjadi karena pelaksanaannya dipersepsi sebagai beban. Akibatnya, pengaruh perubahan irama sirkardian (irama biologis tubuh yang bersifat menetap karena sudah menjadi pola) akan predominan sehingga menurunkan imunitas.
Puasa yang dilaksanakan dengan iman yang mantap, apalagi dengan dasar cinta, penuh harap ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, persepsinya akan menuju positive coping style (bentuk penanggulangan yang positif), sehingga menimbulkan ketenangan. “Ketenangan dapat memperbaiki imunitas,” jelas alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya ini.
Hasil penelitiannya menyebutkan, pelaksanaan puasa yang mencapai fase ketenangan merupakan coping mechanism (mekanisme penanggulangan stres) yang positif. Ini dapat mengubah kualitas stres ke fase adaptasi, sehingga puasa ditanggapi sebagai stimulus yang menyenangkan (eustress). Dan, pusat reward (pengembalian di hipotalamus akan merespons berupa penurunan pelepasan corticotropin-releasing hormone (CRH).
Pelepasan hormon CRH yang terkendali akan menyebabkan sekresi (pengeluaran) adrenocorticotropin hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior juga terkendali, sehingga pelepasan kortisol sebagai salah satu hormon stres ke dalam darah juga terkendali. Puasa yang mencapai ketenangan berpotensi sebagai stimulus yang menyenangkan bagi tubuh sehingga akan dapat meningkatkan imunitas.
Memang, menurut Zainullah, pelaku puasa mengalami penjadwalan ulang pemasukan bahan untuk keperluan biologis (makan, minum), dari siang hari ke malam hari. Juga perubahan pola tidur karena aktivitas ibadah shalat tarawih di malam hari serta mengerjakan sahur. Ini menyebabkan perubahan irama sirkardian tubuh diubah dari pola diurnal (aktif di siang hari) menjadi nokturnal (lebih aktif di malam hari) dibanding sebelum berpuasa.
Perubahan pola aktivitas tersebut berpotensi untuk menurunkan imunitas. Namun, perubahan kebiasaan sehari tersebut dapat diterima sebagai stressor (stimulus penyebab stres) tetapi dapat diadaptasi.
Perubahan pola makan itu periodik, tetapi tidak terus menerus (intermitten fasting), sehingga memberi kesempatan adaptasi.
Respons individu terhadap perubahan saat berpuasa, dengan coping mechanism yang positif dan efektif dapat mengubah kualitas stres. Mekanisme demikian akan terjadi pada pelaksana puasa yang berniat ibadah dengan ikhlas.
Sebaliknya, coping mechanism yang negatif tidak efektif, dapat memperburuk kesehatan dan memperbesar potensi sakit.
Menurut penasihat Yayasan Al-Ikhlas Lumajang ini, orang yang berpuasa semestinya melaksanakan shalat tarawih, memperbanyak mengkaji Al-Qur`an, menghindari hal yang tidak berfaedah, supaya terhindar dari berpuasa yang hanya mendapat lapar dan haus. Hal tersebut mendorong pelaku puasa mengendalikan nafsu dan emosi serta meningkatkan iman.
“Puasa yang dilaksanakan dengan iman dan selalu dzikir dengan tujuan taqarrub akan mendatangkan ketenangan sebagaiman firman Allah dalam Al-Qur`an surat 13 ayat 28,” jelasnya.
Puasa Ramadan yang dilaksanakan dengan iman akan mendatangkan ketenangan. Coping mechanism yang positif dan efektif akan menyebabkan tubuh dapat beradaptasi dan diharapkan kadar hormon stres kortisol dalam darah terkendali, sehingga dapat mendorong perbaikan imunitas.
Selama berpuasa, terjadi perubahan imunitas dalam rentang fisiologis dan tidak menimbullkan dampak patologis. Juga terjadi penurunan stimulasi sistem syaraf simpatetik pada tahap akhir puasa.
Stimulasi sistem syaraf simpatetik yang berlebihan selama aktivitas harian sebenarnya diharapkan menurun dengan shalat 5 waktu, tidur yang efektif, sehingga stres psikologis harian bisa hilang. Namun, apabila aktivitas harian sedemikian besarnya, maka stres harian tersebut masih tersisa setelah bangun tidur.
Dengan berpuasa berlandaskan iman yang mantap, penurunan stimulasi syaraf simpatetik yang terjadi selama sebulan berpuasa diharapkan dapat mengurangi atau meniadakan sisa stres yang tertumpuk selama 11 bulan beraktivitas. Sehingga setelah berpuasa terjadi kondisi kesehatan yang optimal. “Itu sudah bisa dibuktikan secara ilmiah,” tegas laki-laki kelahiran Bangkalan, 1962, ini.
Sempat Ragu
Ketika hendak mengajukan proposal tentang efek puasa Ramadhan kepada salah seorang profesornya, Zainullah sempat bimbang. Pasalnya, sang professor meminta jaminan kepadanya bahwa hasil penelitiannya tidak bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan puasa itu menyehatkan. Sebab, secara medis, beberapa penelitian di Barat hasilnya berlawanan dengan hadits tersebut.
Setelah berkonsultasi kesana kemari, akhirnya ia mendapat jawabannya. Salah satu dosennya, Dr Kabat, SpP memintanya menelaah ayat yang terkait dengan perintah puasa itu. “Saya kemudian mendalami maksud ayat ‘Yaa aiyyuhal ladziina aamanu,” jelasnya.
Itulah sebabnya Zainullah betul-betul selektif mencari objek penelitian. Setelah ke sana kemari akhirnya ia menjatuhkan pilihannya kepada santri Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya. Hasilnya, Zainullah bisa membuktikan di hadapan para guru besarnya bahwa puasa itu betul-betul menyehatkan.
Dalam ujian terbuka disertasinya, Zainullah mendapat sambutan luar biasa. “Saya salut, karena ujian terbuka doktornya mendapat apresiasi yang luar biasa dari para pengujinya,” kata Anwar Djaelani, seorang aktivis di Surabaya.
Mengapa tertarik menggarap disertasi tentang puasa? “Saya ingin membuktikan bahwa ajaran Islam itu benar dan mengandung manfaat besar bagi manusia. Sebagai Muslim kita harus yakin bahwa dogma agama kita itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” jawab ayah dari Rima, Azmi, dan Dzikri ini.
Ia ingin dengan ilmu tersebut bisa berbuat banyak kepada kaum Muslimin. Zainullah mengakui, profesi sebagai dokter, apalagi dokter spesialis, memiliki peluang yang sangat besar untuk mengeruk kekayaaan. Namun, ia tidak ingin terbuai dengan iming-iming semu itu. Karena itu, dokter yang sudah terbiasa hidup di masjid ketika kuliah ini tidak ingin hartanya lantas melupakannya untuk selalu berdakwah.
Untuk menjaga ghirah keislamannya, Zainullah aktif di berbagai lembaga sosial keagamaan, seperti Yayasan Al-Ikhlas Lumajang, Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Lumajang, dan lain-lain. Ia juga menjadi Wakil Ketua Yayasan Asma.
Zainullah mengakui mendapat ketenangan ketika berkumpul dengan kawan-kawan seperjuangannya yang ada di lembaga dakwah tersebut. “Semoga dengan gelar yang saya dapatkan ini membuat saya semakin giat berdakwah untuk Islam,” kata lelaki yang “dilamar” almamaternya untuk menjadi tenaga pengajar ini.* (Bahrul/Hidayatullah)
Baca selengkapnya di Majalah Hidayatullah terbaru edisi Oktober 2005