Hidayatullah.com–Tim Advokasi Korban Penangkapan Densus 88 (TANGKAP Densus 88) hari ini mendaftarkan gugatan perwakilan golongan (class action) atas dugaan sejumlah pelanggaran HAM berat yang dilakukan Densus 88 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, (17/6) pukul 10 WIB pagi tadi.
Gugatan didaftarkan oleh Ketua ”TANGKAP Densus 88” Munarman S.H dan anggota Tim Pengacara Muslim Achmad Michdan. Gugatan diterima Panitera Muda Perdata Sobari Achmad. Sesudah membayar administrasi sebesar Rp 470 ribu, gugatan resmi terdaftar dengan nomor 893/PDTG/2007/PN Jaksel.
”TANGKAP Densus 88” mewakili nama seluruh korban penangkapan Densus 88, baik yang diadili ataupun yang tidak diadili. “Korban-korban ini mengajukan gugatan yang diwakili Ustad Abubakar Ba’asyir. Yang digugat adalah Pemerintah Indonesia dan Kapolri,” jelas Munarman kepada para wartawan.
Munarman melanjutkan, dengan Surat Keputusan (SK) Kapolri lah Detasemen Khusus 88 dibentuk. Maka atas nama seluruh korban, ”TANGKAP Densus 88” meminta Pemerintah membubarkan Densus 88 dengan beberapa alasan.
Secara konstutisional, menurutnya Densus 88 telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Karena di dalam pasal 28 i UUD 1945 ada klausul hak untuk tidak disiksa dalam keadaan apapun juga.
“Pengertiannya adalah siapa pun dia, apa pun profesinya, apa pun kasusnya, apa pun kejahatannya, dalam keadaan perang atau damai seseorang tidak boleh disiksa untuk diperoleh pengakuan atau informasinya, katanya”
Dari hasil temuannya Munarman mengatakan, dalam setiap penangkapan terhadap tersangka kasus terorisme polisi menggunakan metode penyiksaan. Baik psikis (mental) maupun pisik.
Secara psikis yakni, Densus 88 memaksa para aktivis Islam yang mereka tuduh sebagai teroris ini untuk menonton film porno, atau menelanjangi mereka. Sedang secara pisik dengan menyetrum atau menembak mereka. Hal ini dilakukan dalam setiap penangkapan. Hal-hal tersebut diakui sendiri oleh para korban penagkapan.
Selain itu lanjut Munarman, Densus 88 juga melanggar hukum. Yakni UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, maupun UU No. 5 tahun 1998 yang merupakan ratifikasi konvensi anti penyiksaan.
“Yang dimaksud penyiksaan dalam konvensi tersebut adalah tidak boleh memperlakukan seseorang dengan tidak manusiawi, merendahkan martabat kemanusiaannya baik pisik atau mental untuk mendapatkan pengakuan atau informasi.”
Sementara alasan politiknya, berdasarkan data primer dan sekunder yang kita miliki, Densus 88 dibiayai oleh Amerika Serikat. Bantuan sebesar $10 juta untuk tahun 2001, tahun 2002 sebesar $16 juta. Bukti-bukti tersebut kata Munarman, di antaranya dokumen-dokumen asli Departemen Pertahanan AS tentang bantuan dana jutaan dolar untuk melatih dan melengkapi Densus 88.
Bahkan pada konfresi pers, ”TANGKAP Densus 88” di Gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jakarta kemarin dia mengungkapkan, untuk tahun 2006, AS telah mengeluarkan dana sebesar 4,8 juta dolar AS (sekitar Rp 43,5 miliar). ”Untuk tahun 2007 dan 2008 jelas lebih besar lagi,” katanya.
Munarman menegaskan, seharusnya penanganan tersangka kasus terorisme bisa dilakukan prosedur standar. Tidak perlu dengan melakukan penyiksaan atau penembakan.
“Para pelaku korupsi, yang melakukan kejahatan luar biasa tidak pernah ditembak-tembak tuh orangnya,” tukasnya Geram.
Kata Munarman, sesuai prosedur, gugatan diajukan sesuai domisili tergugat. Salah satunya Kaporli yang berkantor di Jalan Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Maka gugatan ini diajukan di PN Jakarta Selatan. [Surya Fachrizal/hidayatullah.com]